1. Asal-usul Asuransi Konvensional
Hasil research Mohd. Ma’sum Billah yang dituangkan dalam bukunya Principles & Practice of Takaful and Insurance Compared, menjelaskan tentang asal usul dan perkembangan asuransi konvensional dari buku British Insurance , sebagai berikut:
Dalam kehidupan di zaman primitive, kebiasaan hidup saling berdampingan atau bersama-sama dalam suatu komunitas merupakan ciri utama, sehingga kebutuhan dan keperluan hidup mereka secara umum dapat teratasi melalui mekanisme saling menjaga dan saling menolong diantara mereka, oleh karena itu mereka tidak memerlukan asuransi, sejalan dengan perkembangan waktu terjadi urbanisasi (perpindahan ke kota), dimana dalam masyarakat kota seseorang menghadapi berbagai bahaya dan risiko dan susah mendapat bantuan dari keluarga maupun kelompoknya, sehingga dengan perubahan kehidupan diatas membuat mereka mencari beberapa solusi yang dapat membuat kehidupan menjadi aman, atau property mereka terlindungi dari risiko yang tidak diharapkan.
Clayton, menyatakan bahwa ide tentang asuransi tumbuh dan berkembang pada jaman masyarakat babilionia sekitar tahun 3000 SM (sebelum masehi), dimana pada tahun 2500 SM, raja babilonia telah mengumpulkan sekitar 282 klausa yang dikenal dengan kode babilonia (Babylonian code) atau disebut juga kode hammurabi (Hammurabi code). Dari kode tersebut menunjukkan bahwa orang babilionia telah mempraktikkan perjanjian bisnis komersil yang menggunakan uang sebagai transaksi, dimana orang meminjamkan uang kepada pedagang dan mengambil beberapa persen untuk pembayaran bunga/interest. Transaksi diatas yang sekarang dikenal dengan kontrak bottomry (contract of bottomry)
Bottomry diintrodusir oleh pedagang babilon sekitar 4000-3000 SM, dimana uang atau barang dipinjamkan kepada pedagang untuk tujuan perdagangan, atau dapat juga sebagai pinjaman murni dengan membebankan rate tertentu sebagai bunga, atau keduanya, membebankan bunga atas pinjaman uang dan sebagai modal akan mendapatkan bagian keuntungan dari hasil perdagangan.
Dasar traksaksi antara yang meminjamkan uang (lender) dan yang meminjam (borrower) atas dasar saling pengertian, dimana atas pembayaran bunga, peminjam harus dilindungi (dibebaskan) dari kewajibannya bila dalam melakukan perdagangan terjadi kecelakaan atau musibah yang menimpa peminjam. Pembayaran bunga diatas dalam bottomry dapat disamakan dengan premi, dimana peminjam merupakan tertanggung sedangkan yang meminjamkan bertindak sebagai penanggung (asuransi).
Sekitar tahun 1600-1000 SM, praktik dari bottomry contract diadopsi oleh orang Phonesia dan setelah juga dipraktikkan di Yunani pada awal abad ke-4 SM .
Dapat disimpulkan bahwa praktik asuransi konvensional sekarang merupakan lanjutan dari praktek bottomry contract di jaman dahulu.
2. Asal-usul Asuransi Syariah
Berbeda dengan sejarah asuransi konvensional, praktik asuransi syariah sekarang berasal dari budaya suku arab sebelum zaman Rasulullah yang disebut dengan aqilah, menurut Thomas Patrick dalam bukunya Dictionary Of Islam, menerangkan bahwa jika salah satu anggota suku yang terbunuh oleh anggota suku lain, keluarga korban akan dibayar sejumlah uang darah (diyat) sebagai kompensasi oleh saudara terdekat dari pembunuh. Saudara terdekat pembunuh tersebut yang disebut aqilah, harus membayar uang darah atas nama pembunuh.
Praktik aqilah pada zaman Rasulullah tetap diterima dan menjadi bagian dari Hukum Islam, hal tersebut dapat dilihat dari hadist Nabi Muhammad SAW: “Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, dia berkata: Berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanita tersebut melempar batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janin yang dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut tersebut kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin tersebut dengan pembebasan seorang budak laki-laki atau perempuan, dan memutuskan ganti rugi kematian wanita tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilahnya (kerabat dari orang tua laki-laki).” (HR. Bukhari)
Selain hadist diatas, ada pasal khusus dalam konstitusi Madinah yang memuat semangat untuk saling menanggung bersama, yaitu pasal 3 yang isinya sebagai berikut: “Orang Quraisy yang melakukan perpindahan (ke Madinah) melakukan pertanggungan bersama dan akan saling bekerja sama membayar uang darah di antara mereka.”
Aqilah merupakan praktik yang biasa terjadi pada suku Arab kuno. Jika seorang anggota suku melakukan pembunuhan terhadap anggota suku yang lain, maka ahli waris korban akan memperoleh bayaran sejumlah uang darah sebagai kompensasi oleh penutupan keluarga pembunuh. Penutupan yang dilakukan oleh keluarga pembunuh itulah yang disebut sebagai aqilah.
Pada tahap selanjutnya, perkembangan asuransi syariah selain mengembangkan praktik tolong menolong melalui dana tabarru’ juga memasukan unsur investasi (khususnya pada asuransi jiwa) baik denga akad bagi hasil (mudharabah) maupun fee (wakalah).
Takaful sebagai asuransi yang bertujuan pada konsep tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar yang saling menanggung satu sama lain. Didalam menghadapi resiko, Allah SWT memerintahkan taawun (tolong-menolong) yang berbentuk al birri wat taqwa (kebaikan dan ketakwaan) dan melarang taawun dalam bentuk al itsmi wal udwan (dosa dan permusuhan).
Firman Allah, “..dan janganlah kalian memakan harta diantara kamu sekalian dengan jalan yang bathil, dan janganlah kalian bawa urusan harta itu kepada hakim yang dengan maksud kalian hendak memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu tahu” (al Baqarah:188). Konsep dasar inilah yang mendasari berdirinya takaful dan sekaligus yang membedakan takaful dengan asuransi lain.
Secara rinci perbedaan takaful dengan asuransi lain dapat dilihat dari uraian sebagai berikut :
Akad
Kejelasan akad dalam praktek muamalah merupakan prinsip karena akan menentukan sah atau tidaknya secara syariah. Demikian halnya dengan asuransi, akad antara perusahaan dengan peserta harus jelas. Apakah akadnya jual beli (tadabuli) atau tolong menolong (takaful). Dalam asumsi biasa (konvensional) terjadi kerancuan/ketidakjelasan dalam masalah akad. Pada asuransi biasa akad yang melandasi adalah jual beli (aqd tadabuli). Oleh karena itu syarat-syarat dalam akad jual beli harus terpenuhi dan tidak boleh dilanggar ketentuan syariahnya.
Syarat dalam transaksi jual beli adalah adanya penjual, pembeli, terdapatnya harga, dan barang yang diperjualbelikan. Pada asuransi biasa, penjual, pembeli, barang atau yang akan diperoleh adan, yang dipersoalkan adalah berapa besar premi yang harus dibayar kepada perusahaan asuransi, padahal hanya Allah yang tahu tahun berapa kita meninggal. Jadi pertanggungan yang akan diperoleh sesuai dengan perjanjian, akan tetapi jumlah yang akan disetorkan tidak jelas tergantung usia kita, dan hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal.
Dengan demikian akadnya jual beli maka dalam asuransi biasa terjadi cacat secara syariah karena tidak jelas (gharar). Yaitu berapa besar yang akan dibayarkan kepada pemegang polis (pada produk saving) atau berapa besar yang akan diterima pemegang polis (pada produk non saving). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seorang ulama salaf ternama dalam kitabnya yang terkenal Majmu Fatwa menyatakan bahwa akad dalam Islam dibangun atas dasar mewujudkan keadilan dan menjauhkan penganiayaan. Sebab pada dasarnya harta seorang muslim yang lain itu tidak halal, kecuali dipindahkan haknya kepada yang disukainya. Akan tetapi hatinya tidak suka karena ia berikan karena tertipu atau terkecoh. Keadilan itu diantaranya dapat diketahui dengan akalnya, seperti pembeli wajib menyatakan hartanya dan penjual menyerahkan barang jualannya kepada pembeli dan dilarang menipu, berkhianat, dan bahwa hutan itu harus dilunasi dan mengucapkan pujian.
Gharar (Ketidakjelasan)
Definisi gharar menurut madzhab syafii adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling kita takuti. Ibnu Taimiyah bicara tentang gharar, yaitu al gharar yang tidak diketahui akibatnya. Sedangkan Ibnu Qoyim berkata al gharar adalah yang tidak bisa diukur penerimaannya baik barang itu ada atau tidak ada, seperti menjual hamba yang melarikan diri dan unta liar meskipun ada.
Pada asuransi konvensional, terjadi karena tidak ada kejelasan makud alaih (sesuatu yang diakadkan). Yaitu meliputi beberapa sesuatu akan diperoleh (ada atau tidak, besar atau kecil). Tidak diketahui berapa yang akan dibayarkan, tidak diketahui berapa lama kita harus membayar (karena hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal). Karena tidak lengkapnya rukun dari akad maka terjadilah gharar. Oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa akad jual beli atau akad pertukaran harta benda dalam hal ini adalah cacat secara hukum.
Takaful mengganti akad tadi dengan niat tabarru (aqd takafuli), yaitu suatu niat tolong menolong pada sesama peserta takaful apabila ada yang ditakdirkan mendapat musibah. Pertolongan tersebut tentunya tidak tertutup kemungkinan untuk kita atau keluarga apabila Allah mentakdirkan kita lebih dahulu mendapat musibah. Mekanisme ini oleh para ulama dianggap paling selamat, karena kita menghindari larangan Allah dalam praktik muamalah yang gharar. Seperti yang disebutkan dalam beberapa hadist.
Rasulullah pernah melarang jual beli gharar (HR Muslim). Dari Ali RA katanya Rasulullah pernah melarang jual beli orang terpaksa, jual beli gharar HR Abu Daud).
Konsekuensi dari akad dalam asuransi konvensional, dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi. Sedangkan dalam asuransi takaful, dana yang terkumpul adalah milik peserta dan takaful tidak boleh mengklaim milik takaful.
Tabarru
Tabarru berasal dari kata tabarraa yatabarra tabarrauan, yang artinya sumbangan atau derma. Orang yang menyumbang disebut mutabarri (dermawan). Niat tabarru merupakan alternatif uang yang sah dan diperkenankan. Tabarru bermaksud memberikan dana kebajikan secara ikhlas untuk tujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta takaful, ketika diantaranya ada yang mendapat musibah. Oleh karena itu dana tabarru disimpan dalam rekening khusus. Apabila ada yang tertimpa musibah, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening tabarru yang sudah diniatkan oleh sesama takaful untuk saling tolong menolong.
Menyisihkan harta untuk tujuan membantu orang yang terkena musibah sangat dianjurkan dalam agama Islam, dan akan mendapat balasan yang sangat besar dihadapan Allah, sebagaimana digambarkan dalam hadist Nabi SAW, barang siapa memenuhi hajat saudaranya maka Allah akan memenuhi hajatnya (HR Bukhari, Muslim dan Abu Daud).
Maisir (judi, untung/untungan)
Sikap Allah dalam al Quran sangat jelas dalam hal maisir, firman Allah SWT “ hai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan (QS Al Maidah:90).
Dalam mekanisme asuransi konvensional, maisir (untung untungan), sebagai akibat dari status kepemilikan dana dan adanya gharar. Al gharar menurut bahasanya artinya penipuan., yang tidak ada unsur rela pada pelaksanaannya, sehingga termasuk memakan harta bathil. Pada bagian lain Zuhail berkata bahwa baial gharar adalah jual beli yang mengandung resiko bagi salah seorang yang mengadakan akad sehingga mengakibatkan hilangnya harta. Faktor inilah yang dalam asuransi konvensional disebut maisir (gambling).
Prof. Mustafa Ahmad Zarqa berkata bahwa dalam asuransi konvensional terdapat unsur gharar yang pada gilirannya menimbulkan qimar. Sedangkan al qimar sama dengan al maisir. Muhammad Fadli Yusuf menjelaskan unsur maisir dalam asuransi konvensional mengatakan adanya unsur maisir karena adanya unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang polis asuransi jiwa meninggal dunia, sebelum periode akhir polis asuransinya, namun telah membayar preminya sebagian maka tanggungannya akan menerima sejumlah uang tertentu.
Bagaimana cara memperoleh uang dan dari mana asalnya tidak diberitahukan kepada pemegang polis. Hal ini dipandang sebagai al maisir. Unsur ini pula yang terdapat dalam bisnis asuransi, dimana keuntungan yang diperoleh tergantung dengan pengalaman si penanggung, keuntungan dipandang sebagai hasil mengambil resiko, bahkan sebagai hasil kerjanya yang riil.
Lebih jauh Muhammad Fadli Yusuf mengatakan, tetapi apabila pemegang polis mengambil (ikut) asuransi tidak dapat disebut judi. Yang boleh disebutkan judi, jika perusahaan asuransi mengandalkan banyak sedikitnya klaim yang dibayar. Sebab keuntungan perusahaan asuransi sangat dipengaruhi oleh banyak sedikitnya klaim yang dibayarnya.
Riba
Dalam hal riba, semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan bunga. Dengan demikian asuransi konvensional selalu melibatkan diri dalam riba. Demikian juga dengan perhitungan kepada peserta, dilakukan dengan menghitung keuntugan di depan. Takaful menyimpan dananya di bank yang berdasarkan syariat Islam dengan sistem mudharabah. Demikian pula investasinya, selain di bank-bank syariah juga pada bidang-bidang lain yang tidak bertentangan dengan syariah.
Allah dengan tegas melarang praktek riba, “ hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba yang memang riba itu bersifat berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan” (Ali Imron:130). Sedangkan hadist Nabi mengutuk orang-orang yang terlibat dalam transaksi riba “Rasulullah mengutuk pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya dan saksinya seraya bersabda kepada mereka semua sama” (HR Muslim).
Dana Hangus
Hal lain yang sering dipermasalahkan oleh para ulama pada asuransi konvensional adalah adanya dana yang hangus, dimana peserta yang tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mendundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana peserta itu hangus. Demikian pula juga asuransi non saving (tidak mengandung unsur tabungan) atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi yang dibayarkan akan hangus yang sekaligus menjadi milik pihak asuransi.
Hal ini menurut para ulama sangat merugikan peserta terutama bagi mereka yang tidak mampu melanjutkan karena suatu hal. Di satu sisi tidak punya dana untuk melanjutkan, sedangkan jika tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan hangus. Pada kaitan ini peserta dalam posisi yang dizalimi, padahal dalam praktek muamalah dilarang saling menzalimi antara kedua belah pihak, laa dharaa wala dhirara (tidak ada yang merugikan dan dirugikan).
Bagaimana dengan konsep Takaful
Takaful dalam mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk pun yang karena satu dan lain hal mengundurkan diri maka dana/premi yang sebelumnya dimasukkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil saja dana yang sudah diniatkan sebagai dana tabarru.
Begitu pula dengan Asuransi Takaful Umum (asuransi kerugian), jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka takaful akan membagikan sebagian dana/premi tersebut dengan pola bagi hasil 60:40 atau 70:30 sesuai kesepakatan yang ada. Jadi premi yang dibayarkan pada awal tahun masih dapat dikembalikan sebagian ke peserta (tidak hangus). Adapun mengenai jumlahnya sangat tergantung pada tingkat investasi tahun tersebut.
Konsep Taawun dalan Asuransi Takaful
Sebagian ahli syariah menyamakan takaful dengan sistem aqilah pada zaman rasulullah SAW. Dr. Satria Effendi M Zein dalam makalahnya mendefinisikan takaful dengan at takmin, at tak awun atau at takaful (asuransi bersifat tolong menolong), yang dikelola oleh suatu badan, dan terjadi kesepakatan anggota masyarakat untuk bersama-sama memikul suatu kerugian atau penderitaannya yang mungkin terjadi pada anggotanya.
Untuk kepentingan itu masing-masing anggota membayar iuran berkala (premi). Dana yang terkumpul akan terus dikembangkan, sehingga hasilnya dapat dipergunakan untuk kepentingan diatas, bukan untuk kepentingan badan pengelola (asuransi takaful). Dengan demikian badan tersebut tidak dengan sengaja mengeruk keuntungan untuk dirinya sendiri. Disini sifat yang paling menonjol adalah tolong menolong seperti yang diajarkan Islam.
Atas dasar ini maka pakar Islam sepakat keabsahannya, sebagaimana dinyatakan dalam fatwa kibar al ulama di Saudi Arabia dalam muktamarnya pada tahun 1397 H.
Dewan Pengawas Syariah
Pada asuransi takaful seluruh aktivitas kegiatannya diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS), baik dari segi operasional perusahaan, investasi maupun SDM. Kedudukan DPS dalam struktur organisasi perusahaan setara dengan dewan komisaris.
Hal-hal itulah yang membedakan asuransi takaful dengan asuransi konvensional, apabila dilihat dari sisi perbedaannya, baik dari sisi ekonomi, kemanusiaan atau syariahnya, maka sistem takaful adalah yang terbaik dari seluruh sistem asuransi yang ada.
Bagi setiap muslim sesungguhnya hidup dan mati hanya untuk Sang Pencipta Allah SWT semata-mata. Dalam tekad itu terkandung konsekuensi, setiap muslim harus berislam bukan hanya di masjid dan mushallah, ketika shalat, puasa, zakat dan berhaji saja, akan tetapi juga ketika ia berada di pasar, bank dan perkantoran. Ketika ia sedang bertransaksi, berinvestasi di pasar modal, dan juga ketika berasuransi.
Semangat itu pula yang mestinya menjiwai semarak kebangkitan ekonomi Islam di dunia. Di Indonesia sendiri, sejak sistem bank tanpa bunga di perkenalkan melalui UU No 7 1992 tentang Perbankan, yang dipertegas dengan diakuinya dual banking system, perbankan syariah tumbuh dengan cepat dalam tiga tahun terakhir. Data–data menunjukkan pangsa total aktiva perbankkan naik dari dari 0,11 persen pada 1999 menjadi 0,33 persen pada 2001. Dana pihak ketiga naik dari 0,07 persen menjadi 0,3 persen pada kurun waktu sama, dan kantor juga semakin meluas menjangkau 29 kota di pulau Jawa, Sumatera , Sulawesi dan Kalimantan.
Di bidang asuransi, perkembangan yang sama pun terjadi . Saat ini, perusahaan asuransi yang benar- benar secara penuh beroperasi secara syariah ada tiga, yakni Asuransi Takaful Umum, Asuransi Takaful Keluarga ( jiwa ), dan Mubarakah. Selain itu beberapa perusahaan asuransi konvensional telah membuka divisi syariah yakni MAA, Great Eastern, Bumiputera (asuransi jiwa ), dan Tripakarta. Data Departemen Keuangan menunjukkan, market share asuransi syariah pada tahun 2001 baru mencapai 0,3 persen dari total premi asuransi nasional. Perkembangan ke depan diperkirakan akan lebih marak lagi mengingat kondisi dakwah Islam yang semakin luas cakupannya, sehingga meningkatkan awareness masyarakat. Di samping itu beberapa kebijakan pemerintah yang mendukung perkembangan asuransi syariah adalah ditetapkannya kewajiban agar asuransi haji dikelola oleh perusahaan asuransi syariah . Di bidang aturan hukum, saat ini sedang digodog aturan khusus mengenai asuransi syariah yang diharapkan dapat memberi dampak yang signifikan sebagaimana dampak dari UU Perbankan tahun 1998.
Berasuransi secara Islam merupakan bagian dari prinsip hidup yang berdasarkan tauhid. Setiap manusia menyadari bahwa sesungguhnya setiap diri tidak memiliki daya apapun ketika datang musibah dari Allah SWT, apakah itu berupa kecelakaan, kematian, atau terbakarnya toko yang kita miliki.
Ada berbagai cara bagaimana manusia menangani risiko terjadinya musibah. Cara pertama adalah dengan menanggungnya sendiri (risk retention), yang kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain (risk transfer), dan yang ketiga, mengelolanya bersama-sama (risk sharing).
Menarik untuk direnungi bahwa sejak dari awal keberadaannya, mekanisme asuransi Islam senantiasa terkait dengan kelompok. Ini berarti, musibah bukanlah permasalahan individual, melainkan kelompok. Sekalipun, misalnya, musibah itu hanya menimpa individu tertentu (particular risks). Apalagi apabila musibah itu mengenai masyarakat luas (fundamental risks) seperti gempa bumi dan banjir. Sesungguhnya Allah SWT sudah menegaskan hal ini dalam beberapa firmanNya di dalam Alquran, antara lain dalam surat al Maidah ayat 2, dan al Baqarah ayat 177. Demikian pula janji Allah untuk senantiasa “menyediakan makanan dan menyelamatkan dari ketakutan” (Q.S. Quraisy: 4) seringkali kita rasakan melalui tangan orang lain yang digerakkan Allah untuk membantu kita dalam rangka memenuhi janjiNya tersebut. Banyak pula hadis Rasulullah SAW yang menyuruh umat Islam saling melindungi dalam menghadapi kesusahan.
Berdasarkan ayat Alquran dan hadis di atas, sesungguhnya musibah, ataupun risiko kerugian akibat musibah, wajib ditanggung bersama (risk sharing). Jadi, bukan setiap individu menanggung sendiri-sendiri (risk retention), bukan pula dialihkan ke pihak lain (risk transfer). Risk sharing inilah sesungguhnya esensi asuransi dalam Islam, di mana di dalamnya diterapkan prinsip-prinsip kerjasama, proteksi dan saling bertanggungjawab (cooperation, protection, mutual responsibility), yang bisa disingkat dengan prinsip CPM.
Jelas berbeda dengan apa yang berlangsung di asuransi konvensional. Di sana yang terjadi adalah transfer risiko. Anda membayar sejumlah premi untuk mengalihkan risiko yang tidak mampu anda pikul kepada perusahaan asuransi. Di sini terjadi ‘jual beli’, dengan komoditasnya adalah risiko kerugian, yang belum pasti terjadi. Di sinilah ‘cacat’ dari perjanjian asuransi konvensional, jika dilihat dari sudut pandang Islam. Teori akad dalam Islam mensyaratkan adanya komoditas (objek akad) yang pasti, apakah itu berbentuk barang ataupun jasa. Cacat ini diperburuk lagi dengan kondisi bahwa uang premi akan hangus apabila kerugian tidak terjadi, sebaliknya akan berjumlah berlipat-lipat kali manakala dibayarkan sebagai ganti rugi apabila risiko yang dipertanggungkan terjadi.
Memang, tertanggung tidak akan mendapat keuntungan dari sini karena prinsip ganti rugi dalam asuransi sudah mengatur bahwa ganti rugi tidak mungkin akan memberikan lebih dari jumlah kerugian yang diderita. Akan tetapi mekanisme transfer risiko seperti ini memungkinkan adanya ketidakseimbangan kekuatan dalam menjalankan perjanjian asuransi yang telah disepakati. Pada tataran yang paling sederhana, misalnya, ketika perusahaan asuransi mensyaratkan tertanggung untuk melakukan hal yang terbaik untuk mencegah terjadinya kerugian, antara lain dengan melakukan manajemen risiko secara ketat, di pihak lain tertanggung merasa tidak perlu melakukannya karena sudah mengalihkan risiko kepada perusahaan asuransi. Pada tataran yang lebih kompleks, bisa saja terjadi kecurangan-kecurangan dalam pengajuan klaim, baik berupa klaim palsu (fraudulent claim) maupun pengajuan nilai klaim yang lebih besar dari sebenarnya.
Dalam risk sharing yang dianjurkan dalam Islam, moral hazard seperti yang dimungkinkan dalam asuransi konvensional. InsyaAllah tidak akan terjadi karena setiap individu sejatinya menjadi penanggung bagi semua peserta. Dana yang terhimpun (pool of funds) selain digunakan untuk menyantuni peserta yang menderita kerugian, juga akan diinvestasikan (tentunya menurut kaidah investasi Islam), dan hasilnya akan dibagikan kembali kepada peserta sesuai prinsip mudharabah.
Hasil itu akan negatif apabila risiko yang dihimpun tidak dikelola dengan baik, sehingga jumlah klaim besar. Akibatnya peserta kehilangan kesempatan untuk memperoleh bagi hasil. Mekanisme ini dengan sendirinya mendorong setiap peserta untuk melakukan pencegahan risiko dan mengelola risiko masing-masing dengan baik. Fraudulent claim pun sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi. Bukan saja karena ada dimensi moral dan etik yang inheren terdapat di dalamnya, namun juga karena mekanisme risk sharing itu sendiri yang dikaitkan dengan prinsip mudharabah, membuat orang secara sadar tercegah dari hal-hal yang buruk. Wallahu a’lam bis-Shawab.
Asuransi syariah mulai beroperasi di Indonesia semenjak 1994, ditandai dengan beroperasinya asuransi syariah Takaful. Yang menjadi dasar beroperasinya pada waktu itu adalah kebijaksanaan Depertemen Keuangan saja, karena tidak satupun undang-undang yang mengatur asuransi syariah beroperasi.
Kalau demikian apa dasar pemberian izin untuk asuransi syariah beroperasi? Semuanya tentu mengacu kepada Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang nota bene diperuntukkan untuk peraturan pelaksanaan usaha asuransi konvensional. Dengan demikian tentu banyak hal-hal yang perlu diatur dalam asuransi syariah, tidak diatur dalam undang-undang itu.
Sambutan masyarakat terhadap asuransi syariah cukup bagus. Takaful dapat mengumpulkan premi dalam jumlah yang signifikan dalam tahun awal beroperasinya dan tetap naik setiap tahunnya. Masyarakat Islam yang pada awalnya kurang mengenal apa itu asuransi syariah, perlahan mualai mengenal, apalagi menggunakan asuransi syariah seakan ikut sama memajukan perekonomian umat.
Masyarakat Islam yang sudah punya insurance minded ini tentu berharap, uang yang dikumpulkan melalui asuransi akan dapat membantu saudaranya yang ditimpa musibah, selanjutnya bagian tertentu dari premi yang dikumpulkan dapat diinvestasikan di kalangan umat Islam sendiri. Ini berarti uang itu akan membantu percepatan kemajuan ekonomi di kalangan umat Islam. Dilihat dari segi prinsip yang ditawarkan, umat Islam juga merasa aman berasuransi dengan asuransi syariah karena ia terbebas dari riba, gharar, maisir dan lain-lain yang membawa kepada dosa.
Selama hampir tujuh tahun Takaful menjadi pemain tunggal, dan menjadikan ia memonopoli pasar. Islam tentu tidak menghendaki demikian karena bisa berakibat timbulnya moral hazard (zalim) dalam melaksanakan pelayanan. Dan tanpa adanya pesaing maka perusahaan tersebut akan lamban bergerak, merasa dimanjakan dan para pengurusnya akan cenderung sebagai eksekutif menara gading.
Karena kebutuhan masyarakat Islam untuk berasuransi semakin tinggi, maka para pengusaha di bidang asuransi membuka matanya dan berubahlah sebagian asuransi menjadi asuransi syariah, seperti Asuransi Syariah Mubarakah konversi 2001, MAA membuka Divisi Syariah 2001, dan Great Eastern membuka Divisi syariah 2001, dan mungkin akan ada lagi asuransi lain yang akan konversi.
Pertanyaannya apakah undang-undang yang ada cukup untuk mengatur jalannya asuransi syariah? Jawaban tentu tidak, karena akan terjadi berbagai pelanggaran dalam berasuransi syariah, apalagi kalau asuransi tersebut diurus oleh orang yang tidak mengerti syariah, maka hal-hal yang tidak halal bisa saja disebut kepada para nasabah sebagai benda halal.
Berbeda
Asuransi syariah sangat jauh berbeda dengan asuransi konvensional dari berbagai segi, pertama dari prinsip produk. Produk asuransi syariah bisa dimulai dengan mudharabah, wadhiah, tabarru' dan taawun. Jadi kalau seseorang masuk asuransi perorangan berunsur tabungan dengan perinsip mudharabah, maka nasabah dikenakan iuran tabarru, dalam jumlah yang kecil, mungkin sekitar enam persen dari uang (premi) yang disetorkan, maka sebagian besar uangnya adalah untuk investasi. Jadi kalau ia berhenti di tengah jalan maka sepenuhnya uang tersebut akan dikembalikan oleh perusahaan, kecuali yang enam persen tersebut yang sudah menjadi hak orang ramai, dimana ia akan disimpan pada rekening tabarru'.
Sedangkan dalam asuransi konvensioanal semua uang premi yang disetor oleh nasabah dianggap pendapatan perusahaan yang digunakan untuk membayar klaim. Akibatnya kalau pembeli polis asuransi berhenti tahun pertama, maka semua uang nasabah menjadi milik perusahaan.
Dari contoh kasus di atas jelas terdapat karakteristik yang sangat berbeda antara asuransi syariah dan asuransi konvensional, jadi tidak mungkin undang-undang konvensional terus dipaksakan kepada asuransi syariah, karena bisa terjadi moral hazard dikalangan pelaksana asuransi syariah.
Umpamanya, produk mudharabah yang dibuat sebagian asuransi syariah tidak berbeda dengan konvensional, karena ia tidak punya komitmen menjalankan sepenuhnya prinsip mudharabah tersebut. Misalnya dalam produk mudharabah-nya asuransi tersebut tetap membebankan biaya operasional perusahaannya sebanyak 80 persen kepada nasabah, kadang-kadang malah lebih dari itu, akibatnya nasabah dirugikan, alias ditipu dengan menggunakan nama syariah.
Kedua dari segi cara berkontrak, asuransi syariah kontraknya jelas apakah mudharabah, wadiah, taawun atau tabarru', dimana para peserta punya niat berinvestasi sambil tolong-menolong antara peserta, kalau terjadi musibah, sedangkan asuransi konvensional kontraknya jual beli dan mirip dengan perjudian, malah sebagian pakar undang-undang menyebutnya sebagai kontrak perjudian, karena ada sifat untung-untungan.
Ketiga dari prinsip kepemilikan, apa boleh asuransi syariah sepenuhnya dimiliki oleh nonmuslim. Dalam masalah bermuamalah secara umum Islam fleksibel, tapi dalam pengaturan distribusi keuangan Islam selalu melindungi.
Perusahaan yang erat kaitannya dengan aktivitas orang-orang Islam, saham mayoritas mesti dimiliki oleh orang Islam. Yang terjadi di lapangan, ada perusahaan sepenuhnya dimiliki oleh orang nonmuslim, lalu membuka windows syariah, karena itu ia menuntut pula asuransi haji untuk bisa digarapnya, tentu saja ia akan menjadi aneh. Apalagi asuransi tersebut asuransi asing, begitu mereka mendapatkan uang premi, pasti mereka larikan kenegaranya dengan berbagai alasan. Bisa saja dengan alasan reasuransinya dan lain-lain, dan perlu diingat, jarang asuransi asing memakai perusahaan reasuransi nasional untuk mereasuransikan tertanggung.
Karena tidak adanya suatu aturan yang jelas, maka perusahaan asing dengan mudah membuka windows atau mungkin cabang syariah. Apakah ini akan dibiarkan terus-menerus. Kalau demikian asuransi asing yang nonmuslim, akan berlomba-lomba membuka cabang syariah. Implikasinya sangat besar terhadap perekonomian umat. Mereka dengan mudah akan mendapatkan dana segar dari masyarakat, dimana mereka belum tentu mau untuk meinvestasikannya kembali di Indonesia, tentu saja masyarakat Islam akan kecolongan.
Keempat dari segi kepengurusan, apa boleh nonmuslim boleh menjadi pengurus asuransi syariah? Dalam mengurus usaha-usaha yang erat kaitannya dengan masyarakat ramai, masalah aqidah tidak bisa dilepaskan, karena dari aqidah inilah akan lahirnya prinsip kejujuran, amanah, fathanah dan keadilan terhadap para nasabah. Kalau dibiarkan asuransi syariah di Indonesia tanpa suatu undang-undang, maka kemungkinan besar untuk masa depan umat Islam Indonesia secara mayoritas akan menjadi nasabah asuransi asing nonmuslim, dan uang kita akan diberikan kepada mereka dalam jumlah yang besar, maka dengan sendirinya kita telah membuka pintu selebar-lebarnya untuk terjadinya capital flight.
Kelima dari segi kebijaksanaan investasi. Dalam asuransi konvensional, kebijaksanaan investasinya jelas pada sektor keuangan, seperti pasar modal, bank dan lain-lain, penyertaan modal dibenarkan sebanyak 20 persen. Dalam kebijaksanaan investasi asuransi syariah tentu tidak mungkin disamakan dengan asuransi konvensional, karena investasinya mesti lebih banyak pada sektor riil, sebab skim mudharabah dan wadiah menghendaki keuntungan itu dari hasil investasi sektor riil, kalau tidak demikian ia akan terkeluar dari prinsip mudharabah-nya. Walau bagaimanapun, peraturan berkenaan ini memang sudah dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor: Kep 4499/LK/2000. Namun tentu ada penyempurnaan dari peraturan ini, agar perusahaan asuransi syariah betul-betul bisa mempertanggungjawabkan investasinya.
Investasi asuransi konvensional tentu tidak terbatas, apakah ia berinvestasi pada tempat yang halal, atau haram, tidak ada satu undang-undang yang melarangnya, sedangkan investasi asuransi syariah mesti pada tempat yang halal, tidak dibenarkan pada tempat-tempat yang haram, sekalipun ia mempunyai keuntungan yang besar. Proteksi dari segi investasi ini tentu diperlukan agar tidak terjadi pencampuradukan antara yang halal dan batil.
Alasan di atas, merupakan justifikasi yang tidak perlu diperdebatkan, karena undang-undang asuransi syariah akan membela kepentingan umat Islam untuk jangka panjang. Umat Islam mungkin sepakat, bahwa jangan sampai kita kecolongan untuk kesekian kalinya dalam menentukan kebijaksanaan ekonomi keuangan, khususnya asuransi, karena pada akhirnya masyarakat generasi akan datang akan menjadi konsumen yang dibodohi akibat tindakan para eksekutif hari ini. Wallahu 'alam.
Berbicara tentang ekonomi Islam (Ekonomi Syariah), maka akan membincangkan suatu sistem yang mengatur permasalahan ekonomi. Aspek mikro maupun makro, yang berdasarkan kepada syari’at Islam. Suatu hal yang pasti, sumber pemikiran ekonomi Islam adalah aqidah dan ideologi Islam. Sehingga ekonomi Islam bersifat khas, unik dan berbeda dengan sistem ekonomi yang berlaku saat ini.
Kerap kalangan akademisi mengatakan, sistem ekonomi Islam lebih condong ke arah sosialis. Karena mengangkat persamaan dan keadilan sehingga sistem ekonomi Islam dilukiskan dengan jam bandul yang bergerak/condong ke kiri.
Pendapat itu didasarkan kepada hanya ada dua macam sistem perekonomian di dunia saat ini, yaitu sitem ekonomi kapitalis (arah kanan dalam jam bandul) dan sistem ekonomi sosialis/komunis (arah kiri dalam jam bandul). Selain itu, sistem perekonomian dunia saat ini, tidak murni. Bercampur atau berkolaborasi di antara bagian-bagian sistem ekonomi yang ada, membentuk sistem ekonomi campuran. Sistem ekonomi campuran ini berada di antara dua kutub (kapitalis dan sosialis/komunis) tergantung ke arah mana condongnya. Jadi para pengikut pendapat ini, tidak mengakui keberadaan sistem ekonomi lain selain ke dua sistem ekonomi tersebut, dan kalaupun diakui maka akan digolongkan sebagai sistem ekonomi campuran.
Pendapat itu lemah argumentasinya. Pengikutnya cenderung hanya mengekor ekonom-ekonom Barat yang sengaja membatasi hanya dua sistem ekonomi. Sehingga sistem ekonomi kapitalis sebagai sistem ekonomi yang menguasai dunia tetap memegang hegemoninya. Para pengikut pendapat itu tidak mempunyai kemandirian dalam memegang suatu prinisip ideologis. Mereka memandang permasalahan ekonomi dari sudut kapitalis, sementara mereka tidak secara keseluruhan menganut kapitalis dan tidak memahami realitas metode berpikir ideologi kapitalis.
Dalam pembahasan sistem ekonomi yang sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup, maka Islam mengaturnya. Sistem ekonomi Islam mengatur tentang: tata cara perolehan harta (konsep kepemilikan); pengelolaan harta mulai dari pemanfaatan (konsumsi), pengembangan kepemilikan harta (inivestasi); serta pendistribusian harta di tengah-tengah masyarakat.
Semua tata cara itu, diatur menurut syari’at Islam. Dalam bahasa yang sederhana, bagaimana kita memperoleh dan mengelola/mengembangkan harta, tidak boleh ada unsur riba, judi, penipuan, dan lain-lainya. Transaksi-taransaksi yang terjadi harus sah menurut Islam (akadnya) dan jenis usaha yang dilakukan-pun haruh berjenis usaha yang halal.
Pendistribusian harta di masyarakat merupakan perkara yang sangat penting. Disebabkan Islam memandang permasalahan ekonomi muncul jika individu-individu tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok hidupnya yang meliputi pakaian, makanan, perumahan, pendidikan, kesehatan serta jaminan keamanan. Maka jalan pemecahannya adalah dengan mengatur pendistribusian harta di tengah masyarakat agar berjalan dengan adil dan benar. Untuk itu, negara wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok setiap warga negaranya.Jadi, masalah pokok ekonomi adalah jika ada manusia apalagi banyak manusia yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Masalah pokok ekonomi tidak terletak pada faktor kelangkaan.
Di Indonesia misalnya, sebagian besar anggota masyarakat masih banyak yang miskin. Apakah permasalahan tersebut timbul karena faktor kelangkaan barang dan jasa di Indonesia ? Tidak! Karena bisa dilihat masih banyak anggota masyarakat yang miskin juga masih banyak orang yang kaya berlebihan. Selain itu, masih banyak sumber daya-sumber daya (resources) tersedia dalam jumlah berlimpah, namun masih banyak anggota masyarakat yang tidak mampu memanfaatkannya karena faktor kemiskinan.
Jelas, sumber permasalahan ekonomi itu bukan lah faktor kelangkaan. Penyebab yang sebenarnya karena pemerintah tidak menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok setiap warga negara dan tidak mengatur pendistribusian barang serta pendapatan dengan benar dan adil, malah mencari jalan keluar dengan cara kapitalis dengan mengejar pertumbuhan ekonomi dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada segilintir orang pemilik kapital untuk menguasai aset-aset milik rakyat (barang-barang publik). Juga melakukan monopoli, serta menggencet jalan mayoritas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Kekeliruan dalam memandang permasalahan ekonomi menyebabkan kekeliruan dalam memecahkan permasalahan ekonomi. Sistem ekonomi kapitalis menganggap permasalahan ekonomi muncul karena kelangkaan, sedangkan kebutuhan manusia tidak terbatas.
Maka sistem ekonomi ini memberikan jalan keluar dengan cara bagaimana manusia dapat meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas itu. Dalam tingkat makro, jalan itu diaplikasi dengan mengejar pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya. Tentu saja masalahnya, apakah kebutuhan setiap individu terutama kebutuhan pokoknya sudah terpenuhi atau belum ?, tidak diperhatikan sistem ekonomi kapitalis. Tetapi yang diperhatikan adalah pemilik modal agar dapat meningkatkan dan memperluas skala produksinya.
Mencermati uraian diatas, maka sangatlah naif, apabila mayoritas Umat Islam beranggapan bahwa Ekonomi Syariah adalah sama dengan Perbankan Syariah. Padahal perbankan adalah hanya salah satu bagian kecil dari suatu Sistem Ekonomi Islam yang komprehensif. Karena itu, ketika seorang nasabah tidak puas dengan pelayanan suatu perbankan syariah, maka serta merta nasabah itu akan berpandangan ’sinis’.
Apa bedanya antara Perbankan Syariah dengan Perbankan Konvensional ?? Inilah bentuk pemahaman mayoritas kaum muslimin terhadap Sistem Ekonomi Syariah yang harus secara terus menerus di-dakwah-kan. Jika tidak, maka jangan heran apabila Umat Islam tetap ’terlena’ dalam buaian Sistem Ekonomi Non-Syariah dan tidak menjanjikan kesejahteraan yang hakiki. Wallohu a’lam bish showab.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar