SOAL
I.
1. Apakah yang dimaksud dengan putusan arbitrase dalam negeri ?
2. Apakah putusan arbitrase dalam negeri boleh dibatalkan dan oleh badan mana?
3. Apakah kalau para pihak sudah setuju menyelesaikan sengketa dengan arbitrase pengadilan masih bisa mengadili sengketa yang bersangkutan ?
4. sebutkan UU dan contoh putusannya !
II.
1. Apakah yang dimaksud dengan putusan arbitrase luar negeri ?
2. Apakah pengdilan Negara anggota konvensi Newyork 1958 serta merta harus memutuskan putusan arbitrase luar negeri ? sebutkan alasan-alasannya !
3. Uraikan suatu contoh putusan MA RI yang menolak pelaksanaan putusan arbitrase luar negeri !
4. Apakah pengadilan Indonesia dapat membatalkan putusan arbitrase luar negeri ? Uraikan putusan MA RI yang menyatakan pengadilan Indonesia tidak berhak membatalkan putusan arbitrase luar negeri ! (kasus Karaha Bodas Company)
III.
1. Kalau terjadi sengketa antara pemerintah Indonesia dengan investor asing dimanakah sengketa itu harus diselesaikan ?
2. Uraikan putusan ISCID dalam perkara RI vs Amco Asia Corporation !
JAWABAN
I.
1. Putusan arbitrase dalam negeri adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan didalam wilayah hukum republik Indonesia.
2. Putusan arbitrase dalam negeri dapat dibatalkan apabila diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a.Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, dikui palsu dan dinyatakan palsu.
b.Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan.
c.Putusan diambil darihasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Badan hukum yang berwenang membatalkan putusan arbitrase dalam negeri adalah Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung jika pemohon mengajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.
3. Jika para pihak sudah setuju menyelesaikan sengketa dengan arbitrase maka pengadilan wajib menolak dan tidak akan campur tangan didalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Campur tangan pengadilan dalam hal-hal tertentu diperkenankan sepanjang tindakan tersebut untuk memperlancar proses arbitrase dan pelaksanaan putusan arbitrase.
4. Undang-Undang yang mengatur : Undang-Undang Republik Indonesia No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian sengketa.
Contoh putusan :
Putusan MA Republik Indonesia dalam perkara Dato Wong Guong vs PT. Metropolitan Timber Ltd. No. 225 K/Sip/1976. perkara ini timbul karena sengketa mengenai kerja sama eksploitasi kayu di kepulauan Sanasa Kasiruta dan Mandioli propinsi Maluku sehubungan dengan HPH yang dikeluarkan tahun 1969. Andries Gerardus Pangemanan sebagai direktur PT. Gapki Trading Co. Ltd. Telah menggugat Dato Wong Guong dan PT. Metropolitan Timber Ltd.dari hasil eksport kayu dalam rangka kerja sama. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya No. 310/1972 G tanggal 21 Maret 1973 mengabulkan gugatan penggugat sebagian. Ternyata kemudian Pengadilan Tinggi membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, walaupun menyatakan bahwa pengadilan negeri berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
II.
1. Putusan arbitrase luar negeri adalah putusan yang dijatuhkan oleh lembaga arbitrase atau arbiter perorangan diluar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.
2. Negara-negara yang menjadi anggota konvensi New York 1958 juga tidak mengakui dan melaksanakan keputusan luar negeri.
Alasan-alasannya berdasarkan pada pasal V (1) dan pasal V (2) Konvensi New York 1958.
pasal V (1) :
a.Para pihak tidak berwenang membuat perjanjian arbitrase.
b.Pemberitahuan yang tidak lazim tentang akan atau sedang berlangsungnya proses arbitrase kepada pihak yang berkepentingan.
c.Arbiter telah melampaui batas wewenangnya.
d.Komposisidari arbitrator atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan.
e.Putusan arbitrase belum mengikat.
pasal V (2) :
a.Pokok persengketaan tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase berdasarkan hukum negara itu.
b.Pengakuan atau pelaksanaan putusan akan bertentangan dengan kepentingan negera itu.
3. Contoh keputusan arbitrase luar negeri yang ditolak pelaksanaanya oleh pengadilan Indonesia :
Dalam perkara Trading Corporation of Pakistan Limited vs PT. Bakrie & Brother, 4231 K/Pdt/1986. Perkara ini timbul dari kontrak jual beli minyak kelapa sawit mentah antara PT. Bakrie & Brother dan Trading Corporation of Pakistan Limited No. 058/PO/11.N/1979. Untuk memenuhi kontrak tersebut Bakrie Brother telah menutup kontrak pembelian minyak kelapa sawit mentah dengan pihak larita (s) Pte. Ltd. Singapura sebanyak 5000 metrik ton dengan harga US $ 670/MT. Bakrie Brother untuk menyelenggarakan pengangkutan minyak kelapa sawit itu telah mengadakan charter party dengan maskapai Rosemuss Shipping Inc. Liberia. Pihak larita telah gagal memenuhi kontrak pembelian minyak kelapa sawit tersebut, sehingga kapal yang telah siap di pelabuhan Singapura tidak jadi memuat minyak kelapa sawit dimaksud. Dalam perselisihan ini Trading Corporation of Pakistan Limited mengajukan masalahnya ke badan arbitrase, Federation of Oil, Seed and Fats Association Ltd. Badan arbitrase tersebut melalui putusan 2282 tanggal 8 september 1981, membebani Bakrie Brother selaku penjual untuk membayar kepada pembeli sebagai ganti rugi $ 98.510.74. Trading Corporation of Pakistan Limited Ltd telah memohon pengadilan negeri Jakarta Selatan untuk melaksanakan keputusan arbitrase London tersebut, pemohon mengajukan beberapa alasan untuk pelaksanaan arbitrase London tersebut. Pertama, Keputusan Presiden Republik Indonesia no. 34 tahun 1981. tentang pengesahan Konvensi New York 1958 telah mengesahkan berlakunya konvensi tersebut di Indonesia sejak tanggal 5 agustus 1981. Kedua, Keppres no. 34 tahun 1981 berlaku secara resiprositas antara Negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi New York 1958. Inggris adalah salah satu anggota Konvensi New York dari tanggal 25 Februari 1975 sehingga pemohon berpendapat bahwa putusan arbitrase “Federasion of Oil, seed and fats” dapat dilaksanakan di Indonesia. Termohon dalam bantahannya mendalilkan bahwa walaupun Negara Inggris yang menjadi tempat keputusan arbitrase merupakan salah satu anggota Konvensi New York, akan tetapi pihak yang berperkara adalah Pakistan dan Indonesia, bukannya Inggris dan Indonesia sehingga permohonan pemohon tidak memenuhi ketentuan Keppres no. 34 tahun 1981. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam putusan no.64/Pdt/G/1984/PN.JKT.SEL, mengabulkan bantahan termohon. Pengadilan tersebut menyatakan bahwa “award of arbitration” no. 2882 tanggal 8 september 1981 tidak berkekuatan hukum sehingga tidak dapat dilaksanakan. Alasan pengadilan negeri adalah bahwa putusan arbitrase tersebut tidak syah karena putusan arbitrase tersebut dibuat di Inggris sedangkan menurut azas resiprositas Yang tercantum dalam Keppres No. 34 tahun 1981 Inggris tidak berhak memutus perkara arbitrase ini sebab Negara yang saling berhubungan adalah Indonesia dan Pakistan bukan Indonesia dan Inggris. Dalam tingkat kasasi permohonan kasasi pemohon kasasi, Trading Corporation of Pakistan Limited, ditolak oleh MA. MA dalam pandangannya tidak dapat membenarkan keberatan-keberatan yang dikemukakan oleh pemohon kasasi.
4. Pengadilan yang memiliki wewenang untuk memutus permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase luar negeri adalah hanya pengadilan di Negara mana, atau berdasarkan hukum mana putusan tersebut dibuat.
Kasus Karaha Bodas Company (Pemohon Banding dahulu Tergugat) vs Perusahaan Pertambangan Minyak DAN Gas Bumi Negara (PERTAMINA) (Termohon Banding dahulu Penggugat). Dalam perkara ini tergugat sedang berusaha melaksanakan putusan arbitrase internasional yang telah diputus di Jenewa, Swiss tanggal 18 Desember 2000, berdasarkan putusan arbitrase UNCITRAL, yang telah menghukum penggugat untuk membayar kepada tergugat ganti rugi sejumlah US $ 266.166.654 berikut 4% setahun, bukti P-1 antara lain dengan memblokir asset-aset yang menurut tergugat menjadi milik dari penggugat
yang terletak dalam wilayah Amerika Serikat. Bukti P-2: perjanjian kerja sama antara penggugat dengan tergugat (Joint Operation Contract) yang menentukan bahwa penggugat bertanggung jawab untuk pengurusan operasi di bidang geothermal dan bahwa tergugat akan bertundak sebagai kontraktor dimana tergugat diwajibkan untuk mengembangkan energi geothermal dan untuk membangun dan menjalankan fasilitas generating. Kemudian penggugat dan tergugat dalam perjanjian P-2 telah sepakat mengenai pilihan forum dan pilihan hukum dalam pasal 13: bahwa dalam hal timbul sengketa antara para pihak maka akan diselesaikan dengan arbitrase berdasarkan ketentuan UNCITRAL dan dalam pasal 20: bahwa terhadap kontrak P-2 ini akan berlaku hukum Indonesia. Bukti P-3 Kontrak Jual Beli antara penggugat, turut tergugat, dengan tergugat berdasarkan nama turut tergugat setuju untuk membeli dari penggugat tenaga listrik yang dihasilkan oleh fasilitas pembangkitan listrik yang dibangun oleh tergugat, kemudian penggugat, turut tergugat dan tergugat dalam kontrak bukti P-3, mengenai pilihan forum dan pilihan hukum telah sepakat dalam pasal 8 ayat (2) bahwa dalam hal timbul sengketa antara para pihak tersebut diatas maka akan diselesaikan dengan arbitrase berdasarkan ketentuan arbitrase UNCITRAL. Bukti P-4: keputusan presiden no. 39/1997 tanggal 20 September 1997 yang antara lain menentukan harus ditangguhkan proyek PLTP Karaha Bodas, demi untuk menanggulangi gejolak moneter. Bahwa kemudian proyek ini dengan keputusan presiden no. 47/1997 tanggal 1 November 1997 (bukti P-5) dinyatakan dapat diteruskan ; Bahwa akan tetapi, kemudian dengan keputusan presiden no. 5/1998 proyek bersanggkutan ditangguhkan kembali (bukti-6).
Adapun alasan-alasan untuk meminta pembatalan putusan arbitrase luar negeri aquo adalah karena melanggar ketentuan-ketentuan Konvensi New York maupun ketentuan undang-undang arbitrase tahun 1999 no.30 serta klausula arbitrase yang menjadi sumber utama wewenang team arbitrase bersangkutan, antara lain karena:
I. Majelis arbitrase dalam bukti P-1 telah melampaui wewenangnya karena tidak mempergunakan hukum Indonesia, padahal hukum Indonesia adalah yang harus dipergunakan.
II. Putusan arbitrase tanggal 18 desember 2000 tidak mengindahkan/secara keliru menafsirkan ketentuan tentang force majeure menurut hukum Indonesia.
Keberatan-keberatan yang diajukan oleh pemohon banding/tergugat dalam memori banding tersebut pada pokoknya ialah :
1. Bahwa pemohon banding keberatan atas putusan :
a.Bahwa berdasarkan UU arbitrase menyatakan terhadap putusan (pembatalan) dari pengadilan negeri dapat diajukan permohonan banding ke MA. Oleh karena itu upaya hukum yang diajukan pemohon banding/tergugat terhadap putusan dengan mengajukan banding kepada MA sudah tepat dan sesuai dengan UU arbitrase.
b.Bahwa oleh karena UU arbitrase tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai batas waktu pengajuan banding dan memori banding.
c.Bahwa pertimbangan hukum judex factie dalam putusan no. 86/PDT.g/2002/PN.JKT.PST. tanggal 27 Agustus 2002 adalah keliru dan tidak berdasarkan fakta dan tidak adil.
2. Bahwa termohon kasasi menurut hukum tidak dapat mengajukan pembatalan terhadap putusan arbitrase internasional dengan menggunakan format “gugatan” melainkan harus menggunakan format “permohonan”.
3. Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang baik secara kompetensi absolute maupun secara kompetensi relative untuk mengadili perkara aquo.
4. Bahwa dari segi Kompetensi Absolute Pengadilan Jakarta Pusat tidak berwenang untuk mengadili perkara ini, karena pembatalan putusan arbitrase internasional hanya dapat dilakukan oleh pengadilan Swiss.
5. Bahwa gugatan Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional yang diajukan oleh termohon kasasi/penggugat tidak memiliki dasar hukum untuk dapat diajukan.
Terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
a.Bahwa gugatan penggugat pada pokoknya adalah gugatan pembatalan putusan arbitrase yang diputusakan di Jenewa, Swiss pada tanggal 18 Desember 2000.
b.Bahwa menurut pasal satu butir 9 UU no. 30 tahun 1999 putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan diluar wilayah hukum RI , seperti halnya putusan arbitrase yang dimohonkan pembatalannya oleh penggugat adalah putusan arbitrase internasional.
c.Bahwa mengenai Arbitrase Internasional, UU no. 30 tahun 1999 hanya mengaturnya dalam pasal 65 - pasal 69 yang selain mengatur syarat-syarat dapat diakui dan dilaksanakannya suatu putusan Arbitrase Internasional di Indonesia, juga mengatur proses permohonan pelaksanaan putusan arbitrase tersebut.
d.Bahwa pasal V ayat (1) e Konvensi New York 1958 yang disahkan dan dinyatakan berlaku dengan Keppres no. 34 tahun 1981.
e.Bahwa apalagi dari bukti P-5 terlihat bahwa kuasa hukum penggugat dan turut tergugat telah mengajukan permohonan banding terhadap putusan arbitrase yang disengketakan (bukti P-1) kepada MA Swiss sesuai dengan UU Hukum Perdata Internasional Negara Swiss.
f.Bahwa oleh karena itu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus gugatan pembatalan putusan Arbitrase Internasional yang diajukan oleh penggugat.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, dengan tidak perlu mempertimbangkan pertimbangan-pertimbangan lainnya, maka menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan banding dari pemohon banding Karaha Bodas Company L. L. C., tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 27 Agustus 2003 no. 86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
gak ngerti!!! lo ngomongin apaan sih?!!!
BalasHapus