Senin, 15 Juni 2009

KUHP Mengakomodasi Hukum Islam?

KONSEP Rancangan Undang Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Konsep RUU KUHP), memberikan gambaran tentang kodifikasi berbagai sumber hukum di Indonesia, yaitu hukum adat, agama, dan hukum positif (Barat).
Dari tiga sumber hukum yang diserap Konsep RUU KUHP itu, sorotan sangat tajam masalah penyerapan "senyampang" hukum Islam dalam kitab tersebut. Yang paling getol dikritisi penyerapan hukum perzinahan (permukahan), disusul masalah santet.
Sorotan kritis terhadap delik perzinahan khususnya, telah mengesankan telah mengalahkan pembahasan delik-delik lain yang digagas dalam Konsep RUU KUHP.
Sebagai gambaran umum, Konsep RUU KUHP mencakup 33 bab. Kalau berdasarkan deliknya, bisa dikelompokkan menjadi tujuh bagian. Pertama kelompok tindak pidana terhadap keamanan negara; kedua kelompok tindak pidana terhadap ketertiban umum; ketiga kelompok tindak pidana terhadap penyelenggaraan keadilan; keempat kelompok tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama; kelima kelompok pidana yang membahayakan keamanan umum bagi orang, barang, dan lingkungan hidup, keenam kelompok pidana kesusilaan; ketujuh kelompok pidana terhadap pemudahan.
Pengelompokan delik sepintas memiliki kesamaan dengan KUHP yang tengah berlaku. Itu suatu yang wajar, karena pada dasarnya Konsep RUU KUHP sebagian merekonstruksi KUHP yang ada, sekaligus membuat terobosan delik-delik baru maupun sistem pidananya atau penghukumannya dalam bahasa keseharian.
Kendatipun tergambar seperti KUHP yang ada, sistematika Konsep RUU KUHP memiliki frame baru yang mencerminkan pembaruan sekaligus terobosan sistem hukum pidana.
Jenis pidana
Konsep RUU KUHP menentukan jenis pidana sebagaimana KUHP terdiri dari pidana pokok, pidana mati, dan pidana tambahan. Dalam penjabaran klausul pidana pokok tergambar, pengembangan yang urgent tentang sistem pemidanaan. Terdapat lima jenis pidana pokok, yaitu pidana penjara, pidana tutupan, pidana denda, dan pidana kerja sosial.
Konsep pembaruan pidana penjara terdapat dalam pelaksanaan pidana mati termuat pada pasal 82 ayat (1) Konsep RUU KUHP: "Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama sepuluh tahun, jika:
a) reaksi masyarakat terhadap pidana mati tidak terlalu besar, b) terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki, c) kedudukan pidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting, dan d) ada alasan yang meringankan".
Ayat (2) menentukan, "jika masa percobaan sepuluh tahun terpidana menunjukkan sikap baik dan terpuji hukuman mati bisa diubah menjadi seumur hidup atau 20 tahun penjara dengan keputusan Menteri Kehakiman dan HAM".
Konsep pembaruan pidana denda sangat menonjol dalam Konsep RUU KUHP. Ditentukan di dalamnya enam kategorisasi denda secara berurutan denda Rp 150 ribu (denda I), Rp 750 ribu (II) Rp 3 juta (III), Rp 7,5 juta (IV), Rp 30 juta (V) dan Rp 300 juta (VI).
Penonjolan lain masalah konsep pidana kerja sosial bisa dijatuhkan untuk pidana penjara kurang dari enam bulan atau denda tidak lebih kategori I (Rp 150 ribu). Kerja sosial 240 jam bagi terpidana berusia di atas 18 tahun dan 120 jam kerja sosial bagi terpidana di bawah 18 tahun.
Yang tidak kalah penting, pengaturan pidana anak-anak. Konsep RUU KUHP mengatur secara khusus dan menempatkan pada bagian awal. Pasal 106 ayat (1) menentukan, anak yang belum mencapai umur 12 tahun melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, tindak pidana hanya berlaku bagi anak sudah berusia antara 12 sampai 18 tahun. Namun Demikian, pemeriksaan di pengadilan bisa ditunda setelah mendengar pertimbangan penyidik, jaksa, dan petugas kemasyarakatan.
Hal lain yang diakomodasi dalam konsep kitab hukum pidana itu delik santet. Santet masuk delik tindak pidana ketertiban umum serumpun dengan klausul penodaan bendera dan lagu kebangsaan, lambang negara, penghinaan terhadap pemerintah.
Santet diatur dalam pasal 255 ayat (1) : "Setiap orang yang menyatakan dirinya memunyai kekuatan, memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbutannya dapat menimbulkan kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan hukuman penjara lima tahun atau denda kategori V".
Dalam konsep penjelasan pemidanaan pelaku santet untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan praktik ilmu hitam (black magic) yang secara hukum kesulitan dalam pembuktiannya. Tujuannya mengakhiri kebiasaan main hakim sendiri oleh warga masyarakat yang dituduh pelaku santet, teluh, dan sejenisnya.
Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra menyebut, santet dan konconya sebagai beyond science. Oleh karena itu, yang dibuktikan bukan bagaimana cara menyantet melainkan pengakuan seseorang yang bermufakat untuk mengancam nyawa atau fisik seseorang dengan jalan ilmu hitam. Bukan membuktikan ilmu hitamnya sebagai tindak pidana melainkan perbuatannya.
Perzinahan
Perzinahan masuk kategori delik pidana kesusilaan. Banyak jenis lain dari delik ini, termasuk pornografi dan pornoaksi. Istilah yang dipakai di antaranya permukahan. Termaktub dalam pasal 419 berupa perzinahan oleh salah satu pelaku atau kedua pelaku zinah terikat dalam perkawinan atau selingkuh, pasal 420 berupa perzinahan oleh orang-orang yang tidak terikat dalam perkawinan, dan pasal 422 dalam bentuk kumpul kebo.
Pemidanaan kasus ini masuk ketegori delik aduan. Permukahan bisa dipidana dengan syarat sang istri melaporkan tindakan suaminya, ancaman hukumannya lima tahun. Apabila takut tercemar dan istri yang ditinggal selingkuh berdiam diri, maka permukahan tidak dipidana.
Demikian halnya perzinahan tanpa ikatan perkawinan, tidak dituntut pidana kalau masyarakat merasa tidak terganggu hak sosialnya, keluarga, kepala adat, kepala desa tidak melapor ke polisi. Sebaliknya, apabila perempuan yang diajak hubungan intim mengalami hamil, pihak laki-laki tidak bertanggung jawab, proses pidana bisa dilakukan dengan ancaman pidana penjara lima tahun dan denda kategori V.
Menyangkut kumpul kebo pun masuk delik aduan dengan ancaman pidana maksimal dua tahun atau denda kategori II.
Delik kesusilaan mengatur pula hubungan intim sejenis belum berumur 18 tahun, orang yang mengajak dipidana paling singkat satu tahun penjara atau maksimal tujuh tahun.
Termasuk diatur dalam delik ini juga masalah pemerkosaan yang juga masuk delik aduan. Ancaman pidananya minimum tiga tahun paling tinggi 12 tahun, disesuaikan dengan jenis perkosaan seperti disertai kekerasan atau sejenisnya.
Pemidanaan perzinahan lebih bernuansa sebagai penyerapan hukum Islam. Maka tidak mengherankan sejumlah kalangan mengkritisi bahkan berprasangka bahwa pemidanaan zina sebagai cermin keberhasilan pendekatan para politisi Islam yang menginginkan penerapan syariat Islam.
Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra yang kebetulan Ketua Umum Partai Bulan Bintang, ikut masuk deretan politisi yang dituding di balik penerapan pidana perzinahan. Sikap kritis tidak hanya datang dari kalangan nonmuslim, sejumlah aktivis berlatar belakang Islam pun terdapat yang ikut menolak pemidanaan perzinahan, selingkuh, atau kumpul kebo dengan alasan intervensi ke wilayah ranjang orang atau masalah sangat pribadi.
Nursyahbani Katjasungkana sebagai contoh yang mengritisi masalah itu. Ia minta, pasal-pasal tersebut dikeluarkan dari RUU KUHP, karena Pasal 1365 KUH Perdata telah mengatur setiap orang dapat mengajukan gugatan jika merasa dirugikan, sesuai paham apa pun, sudah cukup mengatasi masalah perzinaan, dan kumpul kebo. Oleh karena itu, ia berpendapat masalah asusila tetap dibiarkan sebagai wilayah pribadi.
Topo Santoso berpendapat bahwa pengaturan perzinahan semacam itu, di satu sisi memang dapat mencegah orang melakukan perbuatan perzinahan, hubungan tanpa ikatan kawin, kumpul kebo, tetapi di sisi lain seolah nanti ada anggapan bahwa boleh saja bersetubuh di luar nikah jika memang ia bermaksud menikahinya sesudah itu. "Tidakkah dikhawatirkan orang-orang yang sudah bertunangan akan melakukan hubungan seksual sebelum menikah," kata Topo Santoso (Seksualitas dan Hukum Pidana, Juni 1997).
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Prof.Dr. Ahmad Ali mengamini pentingnya pemidanaan perzinahan. "Salah satu contoh yang seyogianya diatur oleh KUHP baru adalah melengkapi pasal 284 KUHP sekarang yang hanya mengancam pidana bagi pelaku persenggamaan di luar nikah, hanya jika salah satu atau kedua pelakunya sudah terikat dengan perkawinan yang sah dengan pihak lain. KUPH baru nantinya, seyogianya mengancam sanksi pidana bagi setiap persenggamaan di luar nikah, siapapun pelakunya. Tentu saja berat ringannya yang harus dibedakan berzina dengan istri atau suami orang lain, sanksi pidananya harus lebih berat jika dengan gadis atau jejaka," katanya.
Pengaturan pidana perzinahan terkesan sangat khas dengan norma Islam. Karena Islam mengajarkan pentingnya ikatan perkawinan yang dipayungi hukum, sebaliknya menjatuhkan sanksi rajam terhadap pelaku perzinahan. Bahkan sebagai pencegahan perzinahan, Islam menerapkan pendekatan ekstrim berupa pertalian perkawinan pada usia muda.
K.H. Husein Muhammad berpendapat, kitab kuning menyebut perkawinan muda/kawin belia dengan istilah nikah ash-shaghir/ash-shaghirah sebaliknya nikah alkabi/alkabirah. Sementara kitab baru menyebutnya az-zawaj almubakir (pernikahan dini).
Mayoritas ulama fiqh --bahkan Ibnu Mundzir menganggap ijma' (konsensus) ulama fiqh-- mengesahkan perkawinan dini. Nabi Muhammad mengawinkan secara dini anak perempuannya (Hamzah) dengan laki-laki Ibu Salamah. Sedang UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan mengakui eksistensi tradisi nikah dini karena alasan kondisi masyarakat Indonesia.
Pernikahan antara pria dengan perempuan dimaksudkan sebagai upaya memelihara kehormatan diri (hifz al-irdh) agar mereka tidak terjerumus dalam perbuatan terlarang, memelihara kelangsungan kehidupan manusia/keturunan (hifz annasl) yang sehat, mendirikan kehidupan rumah tangga yang dipenuhi kasih sayang antara suami dan istri, serta saling membantu antara keduanya untuk kemaslahatan bersama (Fiqh Perempuan Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender, LKiS, 2001).
Apakah penyerapan salah satu ajaran dalam Islam identik dengan menerapkan syariat Islam dalam KUHP baru? Topo Santoso menjawab bahwa keinginan dan pernyataan-pernyataan perlunya digali norma hukum yang bersumber dari norma dan nilai-nilai hukum agama dan hukum tradisional, menunjukkan kesadaran perlunya digali hukum yang bersumber dan berakar pada nilai-nilai budaya moral dan keagamaan. Sebaliknya, ini menunjukkan terjadi krisis kepercayaan terhadap sumber hukum yang selama ini ada.
"Dalam rangka pembaruan hukum pidana khususnya delik zinah ini seharusnya melihat pada sudut ini. Dalam pandangan dan struktur sosial budaya masyarakat Indonesia, masalah perzinahan dan lembaga perkawinan bukan semata masalah privat dan kebebasan individual, tetapi terkait pula nilai-nilai dan kepentingan kaum dan lingkungan," tulis Topo Santoso.
Dengan dasar pemikiran ini, Topo Santoso justru melihat kekurangan signifikan kalau KUHP baru menempatkan perzinahan sebatas delik aduan.
Oleh karena itu, tidak ada alasan penyerapan klausul perzinahan ke dalam Konsep RUU KUHP diperdebatkan dan dikhawatirkan mengandung spirit Islam. Pemidanaan perzinahan perlu diresapi dari segi pentingnya perhatian serius mengingat kerugian atas kejahatan ini sangat besar. Ini bisa dibandingkan sepintas dari sampel kejahatan yang terekam media massa cetak maupun elektronik.
Persoalan substansial bukan alasan perzinahan diatur oleh agama Islam dan negara memasuki wilayah privasi warganya, melainkan kepentingan penerapan pidana perzinahan untuk melindungi manusia dari kejahatan kesusilaan dan menciptakan tertib sosial.
Lembaga Swadaya Masyarakat dan para pihak yang menentang pemidanaan perzinahan atau permukahan dengan segala bentuknya perlu bersikap jernih dan jangan mendua. Dalam kasus di Pengadilan Negeri Cibinong misalnya, hakim membebaskan AB, pimpinan sebuah yayasan, yang dituduh mencabuli anak didiknya, RS (24/10). LSM mengecam keras putusan hakim, karena hakim mengesampingkan saksi tunggal yang mengaku melihat tindak pencabulan itu.
Ini tengarai bahwa KUHP yang ada tidak mewadahi secara memadai perlindungan tindak pidana kesusilaan. Siapapun hendaknya bersikap obyektif untuk memandang kemaslahatan penerapan hukum, kalau tidak menginginkan merebaknya barbarisme.

"Menyeret Pemilik Situs Porno Berdasarkan Perjanjian Kerja" oleh : Rapin Mudiardjo, S.H. *

Pornografi Internet (cyberporn) kembali mencuat setelah dua orang Indonesia terlibat dalam penyajian gambar porno via internet. Sebenarnya, kasus pornografi internet ini sudah berjalan sejak internet menjadi konsumsi publik dalam perolehan informasi. Sudah saatnya, pornografi internet ditindak tegas agar akibatnya bagi masyarakat dapat diminimalisasi. Kasus pornografi internet yang telah melibatkan dua orang Indonesia itu kabarnya telah diputus oleh pengadilan di Amerika. Padahal di 'negeri Koboi' itu, seks atau pornografi bukan barang baru di Amerika. Masalahnya, Thomas Reedy dan Jenice Reedy turut serta dalam menyajikan gambar porno anak di bawah umur.

Penanganan pornografi internet bukan masalah yang sederhana karena terbentur pada masalah pembuktian di pengadilan yang demikian sulitnya. Karena itu logis, jika kasus ini terkesan lamban dan bertele-tele untuk sampai ke pengadilan. Apalagi kemajuan teknologi komputer memungkinkan dilakukan manipulasi atas suatu data yang dikirim secara elektronik. Kesulitan lainnya, peraturan di dunia maya (cyberspace) masih disandarkan pada faktor etika di dunia maya. Padahal sangat sulit jika suatu tindakan hanya bersandarkan pada faktor etika. Sanksi yang ada bergantung kepada masyarakat yang meyakini etika tersebut. Karena itu, perlu ditegaskan batasan "kesusilaan" dari pornografi internet tersebut.

Masalah jurisdiksi juga bukan masalah yang sederhana untuk dibicarakan. Apalagi menyangkut kejahatan yang bersifat transnasional atau antarnegara. Mungkin ada benarnya pendapat yang mengatakan bahwa cyberspace adalah suatu wilayah baru di dalam peradaban manusia. Tapi tentunya, harus ditilik lebih lanjut di mana "unsur kebaruan" dari wujud perkembangan tersebut. Perihal jurisdiksi tidak akan dibahas lebih lanjut disini. Namun, dalam tulisan ini akan lebih terfokus pada pihak mana saja yang bisa dipertanggungjawabkan atas penyediaan situs porno di internet. Sangat tidak adil, jika hanya Thomas Reedy dan Jenice Reedy padahal secara teknis banyak pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pornografi internet tersebut.


Contractual liability

Bila ingin menindak tegas para pelaku dalam pornografi internet, tentunya tidak bisa dilihat secara sepintas lalu. Kasus pornografi internet tidak terlepas dari adanya tindakan penyertaan atau konspirasi di antara para pihak. Reedy dan Jenice Reedy hanyalah satu dari sekian banyak pihak yang seharusnya turut bertanggungjawab atas penyelenggaraan pornografi anak di bawah umur melalui internet.

Penyediaan pornografi internet harus dilihat sebagai suatu tindakan bersama (adanya penyertaan). Karena itu, harus ada satu alasan mengapa yang bersangkutan (pasangan Reedy) diseret ke pengadilan yang semata-mata tidak hanya digantungkan pada perbuatan materil dari keduanya.
Tindakan penyertaan di sini dapat dilakukan dengan atau tanpa kesepakatan. Dalam kasus ini, perbuatan tersebut dilakukan secara berkala dan terlihat adanya kesepakatan di antara para pihak selaku penyelnggara situ porno di internet.

Kabarnya, yang bersangkutan telah meraup ribuan dollar dari penyelenggara jasa penyediaan situs porno anak di bawah umur. Berarti pada prakteknya, terdapat suatu "perjanjian" di antara kedua belah pihak. Maka, pertanggungjawaban atas suatu tindak pidana tersebut dilakukan berdasarkan kontrak yang dibuat oleh masing-masing pihak. Jika terjadi pelanggaran/kejahatan atas suatu tindakan yang disepakati bersama tersebut sebelumnya, pihak yang melakukan perjanjian dapat dimintakan pertanggungjawaban.

Berdasarkan kerangka pertanggungjawaban di internet (the framework of liability on the internet), paling tidak ada 7 (tujuh) pihak yang saling bertanggungjawab sesuai dengan perannya masing-masing ketika yang bersangkutan berinteraksi dengan menggunakan internet. Antara lain: pengguna internet, operator telekomunikasi, internet service provider, server, packager, produser, dan author. Dalam dakwaannya, kedua warga negara Indonesia ini dituduh telah menyuplai gambar cabul di bawah umur. Dalam konteks ini, yang bersangkutan bisa dimasukkan ke dalam kategori author dan atau produser. Bila dalam kontraknya disebutkan bahwa yang bersangkutan dalam periode tertentu menyuplai gambar pornogrrafi di bawah umur, dari situ keduanya dapat diseret ke pengadilan.

Kemudian di pihak lain, yang mungkin dapat dinyatakan bertanggungjawab adalah pihak penyedia/penyelenggara/pemilik server yang menyebarkan informasi yang dikirimkan oleh produser dan atau author. Berarti, pihak pemilik server juga dapat diseret ke pengadilan untuk anak di bawah umur. Seharusnya, kepolisian Amerika juga menuntut si pemilik server. Yang ketiga, adalah penyelenggara jasa (internet service provider) yang juga bisa dimintakan pertanggungjawaban atas terselenggaranya pornografi internet. Pemilik situs juga dapat ditarik ke depan pengadilan. Dalam kasus tersebut, dapat diungkap adanya pihak lain yang mungkin bertanggungjawab dalam pelanggaaran susila.


Tanggungjawab individu

Meskipun pada prakteknya, tindakan para penyelenggara pornografi internet dilakukan secara bersama-sama, tetap saja yang bertanggungjawab atas pelanggaran/kejahatan itu adalah pribadi sesuai perannya masing-masing. Situs atau penyelenggara jasa internet tentunya didasari atas dasar kepemilikan atau kepengurusan, ibarat sebuah perusahaan. Mungkin di sini bisa digunakan ajaran tentang pertanggungjawaban korporasi yang menjelaskan bahwa tingkah laku perusahaan merupakan kumpulan dari tingkah laku individu.

Jika demikian halnya, sudah sepatutnya pasangan Reedy menerima ganjaran atas apa yang telah dilakukannya. Namun, masih ada pihak lain yang dapat ditarik untuk bertanggungjawab atas kasus ini. Dengan berdasarkan pada contractual liability, kerjasama atau penyertaan para pihak dalam penyajian, situs pornografi dapat dijadikan batasan untuk menentukan kompetensi para pihak. Hal ini penting karena agak sulit bila meminta pertanggungjawaban pada perusahaan atau situs penyelenggara pornografi internet.

Tanggung jawab individual akan lebih mudah dimintakan kepada para pihak. Pasalnya, tidak mungkin secara "institusi", perusahaan ini dituntut ke pengadilan dan bertanggungjawab atas content dari pornografi internet tersebut. Paling tidak, lebih dari satu pihak saja yang dapat dimintakan pertanggungjawaban atas penyediaan pornografi melalui internet tersebut. Jika ingin lebih tegas mengantsisipasi pornografi internet, selain secara materil, ketentuan juga ditegakkan secara formil. Penegakan hukum juga harus disertai oleh suatu keinginan untuk "membersihkan" internet dari pornografi. Tidak sedikit biaya yang dibutuhkan untuk membuat internet di Indonesia harus melewati gerbang yang sama sebelum diteruskan ke ISP (Internet Service Provider) yang ada. Belum lagi, kemajuan teknologi wireless memungkinkan koneksi tanpa melewati ISP.


Di sinilah peran dari pemerintah untuk membuat kebijakan yang sifatnya diskrimatif terhadap informasi yang dapat diakses melalui internet. Mungkin akan terkesan otoriter, tapi hal ini adalah salah usaha agar pornografi internet tidak meracuni generasi muda.
Hal ini baru bisa dilaksanakan jika pemerintah telah mengetahui batasan atau standar tentang rasa kesusilaan. Apakah semua gambar atau tampilan yang menimbulkan nafsu dilarang untuk anak di bawah umur? Semua terserah kepada pembuat kebijakan, dalam hal ini pemerintah selaku regulator.


Batasan pornografi

Batasan pornografi merupakan bagian yang paling sulit untuk ditentukan. Pasalnya, menyangkut masalah "pandangan" yang sangat dipengaruhi oleh budaya dari suatu bangsa. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa persoalan pornografi merupakan sisi pribadi dari setiap orang. Karena itu, sulit untuk menetukan parameter porno atau tidaknya suatu kata-kata, gambar, atau perpaduan dari keduanya. Meskipun batasannya belum jelas, dalam peraturan hukum di Indonesia pornografi dianggap sebagai satu dari sebagian tindakan yang tergolong pelanggaran susila. Masalahnya, ukuran pelanggaran susila agak berbeda pada setiap diri manusia atau bangsa.

Kondisi di Indonesia tentu berbeda dengan Amerika yang secara tegas melarang pornografi anak di bawah umur. Dalam kasus tersebut, terlihat adanya "diskriminasi" batasan susila dari pornografi itu sendiri. Namun, ketentuan tersebut menjadi lebih pasti mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Bagi Indonesia, pornografi internet merupakan barang baru dan masih berlangsung perdebatan mengenai "batasan pornografi" itu sendiri. Apakah pornografi internet tersebuit dapat dikategorikan sebagai pelanggaran yang diatur di dalam KUHP atau UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM.

Di dalam Pasal 282 KUHP misalnya, tidak dijelaskan batasan kesusilaan yang dimaksud dengan kesusilaan itu sendiri. Disebutkan pada bagian penjelasan, sifat cabul (kesusilaan) itu harus ditentukan berdasarkan pendapat umum. Tiap-tiap peristiwa harus ditinjau sendiri-sendiri dan sangat bergantung kepada kebiasaan setempat. Dari situ terlihat, bahwa tidak ada batasan yang pasti mengenai pornografi atau perbuatan cabul itu sendiri. Batasannya bergantung kepada keadaan dan perkembangan dari masyarakat setempat. Dengan adanya internet, agak sulit membedakan atau memisahkan keberadaan suatu masyarakat. Apalagi harus mendefinisikan suatu masyarakat yang menggunakan internet tersebut.

Terlepas dari adanya "keterbatasan" peraturan dalam mendefinisikan kesusilaan tersebut, ada yang patut dikritisi dari kebijakan pemerintah untuk membangun dan mengembangkan internet di Indonesia. Kebijakan pemerintah harus ditegaskan di dalam undang-undang dan bersifat imperatif bagi pelanggarnya. Bila Singapura mampu membendung arus informasi yang masuk ke dalam satu backbone, mengapa Indonesia tidak. Ini yang seharusnya menjadi fokus pembicaraan dalam membangun rasa kesusilaan di dalam masyarakat. Dengan demikian, perdebatan tentang "batasan" kesusilaan dapat disepakati melalui suatu kebijakan yang dibangun oleh masyarakat, dari masyarakat, dan untuk masyarakat.

Bila batasan kesusilaan itu sudah dibuat, layaknya Amerika yang melarang pornografi anak dibawah umur. Namun, tentu saja dibutuhkan "kemauan hukum" dari pembuat kebijakan untuk membatai arus pornografi melalui internet ini. Banyak dari pengguna internet yang memandang bahwa tidak ada hukum yang berlaku di dalam cyberspace. Pendapat ini kemudian ditentang oleh para praktisi hukum yang berasal dari kalangan akademisi dan beberapa orang dengan latar belakang teknologi.

Mereka mengemukakan: "tidak ada satu perbuatan di dunia, yang tidak ada hukumnya". Dari pendapat mereka terlihat, ada satu niat untuk mengantisipasi dampak dari perkembangan perkembangan teknologi. Keinginan segelintir orang tersebut dapat dijadikan titik tolak untuk membuat batasan yang pasti dan dipahami oleh semua orang. Jika batasan sudah sesuai dengan "kenginan" dari masyarakat, dengan sendirinya akan terbangun budaya hukum (legal culture) di dalam masyarakat. Sehingga, konflik melanggar atau tidaknya suatu tampilan di layar komputer tidak lagi menggantungkan pada faktor etika.

Amerika, sudah bisa membatasi mengapa Indonesia tidak? Ini pekerjaan rumah yang harus dicari jalan keluarnya agar perkembangan internet tidak dijadikan 'kambing hitam' penyebab kerusakan moral di Indonesia.

RUMPUN DELIK PIDANA

TINDAK PIDANA TERHADAP KESUSILAAN:

- Rekaman, tayangan, tulisan yang melanggar kesusilaan,
- Menyanyi, pidato di muka umum yang melanggar kesusilaan,
- Membacakan tulisan atau memperdengarkan rekaman yang menyinggung
perasaan kesusilaan orang belum berumur 18 tahun,
- Gambar pornografi dan tindakan pornoaksi di tempat umum,
- Menyediakan sarana menggugurkan kehamilan,
- Perzinahan oleh laki berstatus kawin dengan perempuan lain,
- Perzinahan perempuan berstatus kawin dengan pria lain,
- Perzinahan laki-perempuan sama-sama tidak dalam ikatan kawin,
- perzinahan dengan janji akan dikawini belakangan,
- Hamil di luar pernikahan tidak bertanggungjawab,
- Kumpul kebo,
- Perkosaan dengan sukarela, kekerasan atau tanpa kekerasan,
- Laki-laki memaksa perempuan oral sek dan sodomi,
- Perbuatan cabul orang sadar, pinsan, di bawah umur (14 tahun),
- Hubungan sesama jenis belum berumur 18 tahun,
- Pencabulan atau persetubuhan terhadap orang di bawah umur dengan iming-iming hadiah,
- Orangtua mencabuli/menyetubuhi anak kandung, anak angkat, anak didik, pembantu rumah tangganya,
- Atasan mencabuli bawahannya,
- Cabul dengan saudara sedarah/sekeluarga,
- Pelacuran terbuka dan di bawah umur,
- Menyuruh atu mengobati untuk menggugurkan kandungan,
- Memberi bahan yang memabukkan orang lain,
- Menggerakan anak di bawah umur untuk mengemis,
- Penganiayaan terhadap hewan,
- Memfasilitasi atau sekaligus main judi,
- Menelantarkan orang yang terikat perjanjian diberi nafkah,

Apakah Persekongkolan Tender Dilarang ?

TEORI-TEORI Yang Melarang Persekongkolan Tender :

Persekongkolan dalam Penawaran Tender di hampir semua Negara dianggap sebagia jenis pelanggaran yang amat serius, karena tindakan tersebut biasanya merugikan Negara dalam arti luas.
Pada umumnya tender kolusif dilakukan sebagai per se illegal bahkan di Negara-negara yang tidak memiliki Undang-undang yang membatasi kegiatan usaha sering mengatur secara khusus tentang tender. Kebanyakan Negara memperlakukan tender kolusif lebih ketat daripada perjanjian horizontal lainnya, karena mengandung unsur kecurangan dan akibat yang merugikan terhadap pembelanjaan pemerintah dan anggaran Negara.
Namun demikian, pada pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 menetapkan, bahwa pelanggaran terhadap ketentuan ini akan diperiksa dengan pendekatan rule of reason. Ketentuan ini berbeda dengan pengaturan tender di Negara manapun, dan akan mempersulit badan Pengawas Persaingan Usaha, untuk membuktikan apakah tindakan tersebut mendukung atau merusak persaingan. Hal ini mengingatkan bahwa tender kolusif sama sekali tidak berkaitan dengan struktur pasar, dan tidak terdapat unsure pro persaingan sama sekali. Tender kolusif lebih mengutamakan perilaku berupa perjanjian untuk bersekongkol yang pada umumnya dilakukan secara diam-diam. Oleh karena itu persekongkolan penawaran tender seharusnya menggunakan pendekatan pre se illegal.
Persekongkolan tender (bid rigging) adalah praktek yang dil;akukan oleh penawar tender selama proses penawaran, untuk pelaksanaan kontrak kerja yang bersifat umum, dan proyek lain yang ditawarkan oleh pemerintah dan pejabat-pejabat di daerah. Dalam hal terdapat persekongkolan tender, para penawar akan menentukan perusahaan mana yang harus mendapat order dengan harga kontrak yang diharapkan. Dalam bid rigging, sebelum di umumkan pemenang tender dan besarnya harga kontrak, masing-masing peserta tender melakukan penawaran dengan harga yang telah direncanakan sebelumnya, sehingga pada akhirnya dicapai harga penawaran dan pemenang sesuai yang diharapkan mereka. (Naoki Okatani, “Regulation an Bid Rigging in Japan, the United State and Europe”. Pacific Rim Law & Polley Journal, March 1995, h.250)
Bid Rigging dianggap bertentangan dengan peraturan yang berkaitan dengan anti monopoli. Sebagai contoh di Jepang, bid rigging diatur berdasarkan pasal 2 ayat 6 UU anti monopoli, Menetapkan sebagai “Pembatasan kegiatan usaha melalui kerjasama yang saling menguntungkan antara perusahaan, dan merupakan hambatan substansial terhadap persaingan di wilayah usaha bisnis tertentu yang bertentangan dengan kepentingan umum (Kartel).
Di Amerika Serikat penanganan bid rigging seperti halnya penggunaan kartel, yakni menghukum tindakan tersebut secara per se illegal. Bahkan divisi antitrust departeman kehakiman Amerika serikat menetapkan praktek tersebut sebagai tindakan kriminal berdasarkan Section I the Sherman Act, disertai dengan denda yang tinggi. ( Naoki Okatani, “Regulation an Bid Rigging in Japan, the United State and Europe”, Op. Cit., h.260.)
Bersekongkol dalam Pasal 22 adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih secara terang-terangan maupun diam-diam melalui tindakan penyesuaian dan/atau membandingkan dokumen sebelum penyerahan dan/atau menciptakan persaingan semu dan/atau menyetujui dan/atau memfasilitasi dan/atau tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu.
Jenis-jenis persekongkolan tender atau bid rigging tersebut adalah tekanan terhadap penawaran (bid supperpresion), penawaran yang saling melengkapi (complementary bidding), perputaran penawaran (bid rotation), dan pembagian pasar (market division). (Kara L. Haberbush, “Limiting the Goverments Exposure to bid rigging Schemes.”)


PASAL_PASAL DALAM PERSEKONGKOLAN TENDER


Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999
“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender” sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

PROSES BERACARA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL (ICJ)

BAB I

PROSES BERACARA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL (ICJ);
STUDI KASUS HAK INTERVENSI


Latar Belakang
Sejak dibentuk pada tahun 1945, Mahkamah Internasional (MI) atau International Court of Justice (ICJ), telah menangani kurang lebih 100 kasus internasional, baik yang bersifat sengketa antara dua pihak (contentious) maupun advisor. Sebagai penerus dari PCIJ atau Permanent Court International of Justice yang didirikan pada tahun 1921, MI telah dianggap sebagai salah satu cara utama atau primary means untuk penyelesaian konflik antar negara di dunia,
“The International Court of Justice is often thought of as the primary means for the resolution of disputes between states”
Sebagai salah satu institusi hukum internasional, MI hanya menerima negara sebagai pihak yang dapat beracara di dalamnya. Special Agreement atau perjanjian khusus tentang penundukan (consent to be bound) kepada jurisdiksi MI, harus terlebih dahulu dibuat oleh para pihak sebelum beracara . Penundukan ini didasarkan pada prinsip kedaulatan Negara atau state sovereignty. Hakim Oda dalam keputusannya berkenaan tentang jurisdiksi MI berpendapat,
“When considering the jurisdiction of the International Court of Justice in contentious cases, I take as my point of departure the conviction that the Court’s jurisdiction must rest upon the free will of sovereign state, clearly and categorically expressed, to grant the Court the competence to settle the dispute in question”
Proses beracara di MI hanya dapat dilakukan dengan adanya consent dari para pihak yang akan beracara. Consent ini didasarkan atas asas konsensualisme atau free will dari Negara yang terkait. Dari syarat ini dapatlah dilihat bahwa MI menjunjung tinggi kedaulatan sebuah Negara untuk tunduk atas dasar free will. Lebih jauh lagi, pengakuan MI akan kedaulatan Negara ini juga dapat dilihat dari kekuatan mengikat dari keputusan MI. Keputusan yang dikeluarkan oleh MI hanya mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang bersengketa dan terbatas pada kasus yang diajukan.
Sekilas mekanisme MI sangatlah ideal melihat dari sisi free will ketundukan negara sebagai pihak yang beracara dan kekuatan mengikatnya kepada para pihak yang bersengketa (disputant states). Akan tetapi persoalan akan timbul jika hasil keputusan MI berdampak kepada negara lain sebagai pihak ketiga yang tidak bersengketa (non-disputant states). Setidaknya ada dua persoalan penting yang timbul berkaitan dengan kondisi diatas. Pertama, kekuatan mengikat keputusan MI terhadap pihak ketiga yang tidak ikut beracara. Kedua, posisi pihak ketiga yang akan terkena dampak keputusan tersebut. Melihat dari sisi ini, nampaknya asas konsensualisme atau free will tidaklah berlaku mutlak dalam proses beracara di MI. Keadaan free will hanya dapat dilakukan pada saat pertama pengajuan special agreement antara para pihak yang akan beracara. Seperti layaknya pengadilan nasional atau domestic court, MI juga mempunyai mekanisme keterlibatan untuk pihak ketiga yang tidak menjadi pihak yang beracara. Salah satu mekanisme keterlibatan itu adalah dengan melakukan mekanisme intervensi.
Berbeda dengan special agreement yang menggunakan asas konsensualisme atas dasar free will ketika pertama kali mengajukan proses beracara, mekanisme intervensi lebih terkesan memiliki unsur pemaksaan.
Unsur pemaksaan ini didasari dari keputusan MI yang mempunyai dampak terhadap Negara ketiga yang bukan menjadi pihak yang beracara di MI. Walupun diatas kertas, Negara ketiga ini mempunyai pilihan untuk terlibat ataupun tidak terlibat dalam sebuah kasus yang diajukan di MI, akan tetapi secara realita adalah mustahil atau impossible jika Negara ketiga ini tidak ikut terlibat dalam proses beracara tersebut. Keputusan untuk tidak ikut terlibat dalam proses beracara di MI hanya akan membawa kerugian bagi Negara ketiga yang bersangkutan. Keadaan free will yang pada awalnya menjadi dasar ketundukan berubah menjadi indirect forced will atau pemaksaan secara tidak langsung kepada non-disputant states yang terkena dampak hasil putusan tersebut. Pemaksaan secara tidak langsung ini dapat dilihat pada kasus Continental Shelf 1981, Continental Shelf 1982, Land, Island & Maritime Frontier 1990, Land & Maritime Boundary 1999 dan Sovereignty over Sipadan & Ligitan 2001.
Mulai dari jaman PCIJ sampai jaman MI, tercatat hanya enam kasus yang diintervensi oleh Negara ketiga. Dari kelima kasus intervensi yang pernah diajukan ke MI diatas, hanya dua kasus intervensi yang dikabulkan atau granted oleh MI. Kasus intervensi pertama yang dikabulkan MI adalah kasus Land, Island & Maritime Frontier 1990 dimana Negara ketiganya adalah Negara Nikaragua. Sedangkan kasus intervensi kedua yang dikabulkan adalah kasus Land & Maritime Boundary 1999, dimana Negara Equatorial Guinea menjadi Negara yang melakukan intervensi.
Berkenaan dengan hal ini, MI secara khusus telah mengatur mekanisme bagi negara ketiga untuk melakukan hak intervensi (right of intervention) atas sengketa yang sedang diajukan . MI membagi dua jenis intervensi, yaitu intervensi atas dasar pasal 62 statuta MI dan intervensi atas dasar pasal 63 Statuta MI.

BAB II

PROSES BERACARA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL


Dasar Hukum Beracara
Secara keseluruhan, ada 5 (lima) aturan yang berkenaan dengan MI sebagai sebuah organisasi internasional. Adapun kelima aturan tersebut adalah: Piagam PBB (1945), Statuta MI (1945), Aturan Mahkamah atau Rules of the Court (1970) yang telah diamandemen pada tanggal 5 Desember 2000, Panduan Praktek atau Practice Directions I – IX dan Resolusi tentang Praktek Judisial Internal dari Mahkamah atau Resolution Concerning the Internal Judicial Practice of the Court yang diadopsi pada tanggal 12 April 1976 dari Pasal 19 Aturan Mahkamah (1970).
Di dalam Piagam PBB 1945, dasar hukum yang berkenaan tentang MI terdapat dalam BAB XIV tentang MI sebanyak 5 pasal yaitu pasal 92-96. Sedangkan di dalam Statuta MI sendiri, ketentuan yang berkenaan dengan proses beracara terletak pada BAB III yang mengatur tentang Procedure dan BAB IV yang memuat tentang Advisory Opinion. Ada 26 pasal (pasal 39 - 46) yang tercantum di dalam BAB III, sementara di dalam BAB IV hanya terdapat 4 pasal (pasal 65-68)
Dasar hukum yang ketiga yaitu Aturan Mahkamah (Rules of the Court), (1970) yang terdiri dari 108 pasal. Aturan ini dibuat pada tahun 1970 dan telah mengalami beberapa amandemen dimana amandemen terakhir adalah pada tahun 2000. Aturan ini berlaku atau entry into force sejak tanggal 1 Februari 2001 dan bersifat tidak berlaku surut atau non-rectroactive,
Dasar hukum yang berikutnya adalah Panduan Praktek (Practice Directions) I-IX. Ada 9 panduan praktek yang dijadikan dasar untuk melakukan proses beracara di MI. Panduan praktek ini secara umum berkisar tentang surat pembelaan (written pleadings) yang harus dibuat dalam beracara di MI. Dasar hukum terakhir dari proses beracara di MI adalah Resolusi tentang Praktek Judisial Internal dari Mahkamah (Resolution Concerning the Internal Judicial Practice of the Court), (1976). Resolusi ini terdiri dari 10 ketentuan tentang beracara di MI yang telah diadopsi pada tanggal 12 Apil 1976. Resolusi ini menggantikan resolusi yang sama tentang Internal Judicial Practice yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1968.
Para Pihak yang Beracara
Untuk kasus yang bersifat contentious, Statuta MI membatasi hanya Negara yang dapat beracara di MI. Ada tiga kategori Negara atau state yang dapat beracara di MI yaitu, kategori pertama adalah Negara Anggota PBB. Mengacu kepada pasal 35(1) dari Statuta MI dan pasal 93 (1) dari Piagam PBB, Negara anggota PBB adalah ipso facto terhadap statuta MI dan otomatis mempunyai akses ke MI. Kurang lebih ada 189 negara telah yang menjadi anggota PBB.
Kategori Negara yang kedua adalah Negara Bukan Anggota PBB akan tetapi party kepada Statuta MI. Selain itu Negara yang bukan anggota PBB dan bukan anggota Statuta MI dapat juga beracara di MI dengan persyaratan tertentu yang diberikan oleh Dewan Keamanan PBB. Adapun persyaratan yang dimaksud adalah menerima ketentuan dari Statuta MI, Piagam PBB (pasal 94) dan segala ketentuan berkenaan dengan pengeluaran dari MI atas dasar pertimbangan Majelis Umum PBB.
Kategori yang terakhir adalah Negara yang bukan anggota kepada Statuta MI. Untuk Negara-negara yang masuk dalam kategori ini harus membuat deklarasi untuk tunduk kepada segala ketentuan MI dan Piagam PBB (pasal 94),
Salah satu landmark case atau kasus utama berkaitan dengan status Negara untuk beracara di MI adalah kasus tentang Pelaksanaan dari Konvensi Pencegahan dan Penghukuman atas Kejahatan Pembunuhan. Kasus ini mengetengahkan sengketa tentang penafsiran pasal 35 Statuta MI, siapa yang berhak menjadi pihak yang dapat beracara di MI, dalam hal ini, sengketa antara Bosnia-Herzegovina atau Yugoslavia. Pada keputusannya, MI menerima locus standi dari kedua pihak dengan dasar bahwa keduanya adalah anggota dari konvensi tersebut diatas.
Jurisdiksi MI
Secara umum, jurisdiksi dapat diartikan sebagai kemampuan atas dasar hukum internasional untuk menentukan dan menegakkan sebuah aturan hukum. Hal ini juga berlaku bagi MI dimana jurisdiksi dijadikan dasar untuk menyelesaikan sengketa atas dasar hukum internasional. Untuk sebuah kasus dapat diterima atau admissible di MI, negara sebagai pihak yang beracara harus menerima jurisdiksi dari MI. Penerimaan jurisdiksi di dalam MI ini dapat dalam bentuk:
Ketundukan dari Perjanjian Internasional
Dalam bentuk ini, jurisdiksi MI ditarik dari perjanjian internasional yang memang mengharuskan anggotanya untuk tunduk kepada jurisdiksi MI jika terjadi sengketa. Para pihak tinggal memakai dasar ketentuan dari perjanjian internasional tersebut yang mengharuskan untuk menerima jurisdiksi dari MI,Kurang lebih ada 300 perjanjian internasional yang menerima jurisdiksi MI jika ada sengketa. Pada umumnya jurisdiksi MI dari perjanjian internasional ini berkisar pada kasus tentang aplikasi atau interpretasi dari perjanjian internasional yang akan dimintakan kepada MI.
Deklarasi Ketundukan bagi negara Anggota Statuta MI
Pada bentuk ini, Negara yang menjadi anggota dari Statuta MI yang kemudian beracara di MI dapat dalam waktu yang tidak ditentukan untuk menyatakan ketundukannya ke MI , jadi tanpa membuat perjanjian khusus terlebih dahulu atau bersifat compulsory ipso facto.
Keputusan MI tentang Jurisdiksi MI
Jika terjadi sengketa mengenai jurisdiksi MI maka sengketa tersebut akan diselesaikan oleh keputusan MI sendiri. Para pihak dapat mengajukan preliminary objections atau keberatan awal atas jurisdiksi MI.
Interpretasi Putusan
Jurisdiksi MI dilihat dari Statuta MI, Pasal 60, dimana MI harus memberikan interpretasi jika diminta oleh baik satu maupun kedua pihak yang beracara. Cara permintaan interpretasi putusan tersebut dapat dalam bentuk perjanjian khusus antara para pihak yang bersengketa, ataupun aplikasi sendiri dari salah satu pihak yang bersengketa. Contoh kasus interpretasi putusan dilakukan oleh negara Kolombia pada kasus Asylum antara Kolombia melawan Peru dan juga negara Nigeria dalam kasus Land and Maritime Boundary antara Nigeria melawan Kamerun


Revisi Putusan
Ketundukan pada jurisdiksi MI dengan cara ini adalah melalui aplikasi dengan syarat bahwa ada fakta baru (novum) yang belum diketahui MI dan para pihak ketika keputusan itu dibuat dan bukan karena ada unsur kesengajaan dari para pihak. Jangka waktu yang diberikan untuk revisi putusan adalah 10 tahun sejak keputusan dikeluarkan. Contoh untuk kasus revisi putusan adalah pada kasus Continental Shelf yang diajukan oleh negara Tunisia (Tunisia melawan Libya Arab Jamahiriya)
Urutan Beracara di MI
Secara umum mekanisme beracara di MI akan dijelaskan berurutan menurut bagiannya. Perlu digarisbawahi bahwa mekanisme beracara ini adalah untuk kasus-kasus yang sifatnya contentious.
Penyerahan Perjanjian Khusus (Notification of Special Agreement) atau Aplikasi (Application)
Bagian awal proses beracara dapat dilakukan dengan penyerahan perjanjian khusus (bilateral) antara kedua belah pihak untuk menerima jurisdiksi MI. Perjanjian khusus ini harus berisikan inti sengketa dan identitas para pihak. Karena tidak ada pembagian sebelumnya apakah negara A disebut sebagai Respondent atau Applicant, maka MI membedakan para pihak dengan cara memakai stroke oblique atau garis miring pembeda, contoh Indonesia/Malaysia. Selain penyerahan perjanjian, juga ada bentuk lain proses awal beracara di MI, yaitu dengan penyerahan aplikasi (unilateral) oleh salah satu pihak. Pihak yang menyerahkan aplikasi berisikan identitas, Negara yang menjadi pihak lawan dan subjek dari konflik, disebut sebagai Applicant. Sementara negara yang lain disebut Respondent. Untuk bentuk ini, MI menggunakan singkatan v. atau versus dalam bahasa latinnya guna membedakan para pihak yang bersengketa, contoh Indonesia v. Malaysia
Perjanjian khusus atau aplikasi tersebut biasanya ditandatangani oleh wakil atau agent yang dilampirkan juga surat dari Menteri Luar Negeri atau Duta Besar di Hague dari negara yang bersangkutan. Setelah diterima oleh Registrar (selanjutnya register) MI dan dilengkapi kekurangan-kekurangan jika ada sesuai dengan statuta MI dan Aturan Mahkamah, maka register MI akan mengirimkan perjanjian atau aplikasi tersebut ke kedua belah pihak dan negara anggota dari MI. Kemudian hal tersebut akan dimasukan ke dalam Daftar Umum Mahkamah atau Court’s General Lists yang akan diteruskan dengan press release. (Perancis dan Inggris) dari perjanjian atau aplikasi tersebut setelah didaftar, dialih-bahasakan dan dicetak, akan dikirim ke Sekretaris Jenderal PBB, negara yang mengakui jurisdiksi MI dan setiap orang yang memintanya. Tanggal pertama perjanjian atau aplikasi diterima oleh register adalah tanggal permulaan dimulainya proses beracara di MI. Setelah tahap pemberian perjanjian khusus atau aplikasi untuk beracara di MI, maka tahap yang selanjutnya adalah tahap pembelaan, yaitu pembelaan tertulis (written pleadings) dan presentasi pembelaan (oral pleadings). Pada dasarnya, MI memberikan kebebasan kepada para pihak tentang jenis pembelaan utama yang akan dipakai, baik itu pembelaan tertulis maupun presentasi pembelaan.
Pembelaan Tertulis (Written Pleadings)
Pada tahap ini urutan pembelaannya jika tidak ditentukan lain oleh para pihak, baik dalam hal perjanjian khusus maupun aplikasi, adalah Memorial dan Tanggapan Memorial (Counter Memorial). Jika ternyata para pihak meminta kesempatan pertimbangan dan MI menyetujuinya, maka dapat diberikan kesempatan untuk memberikan Jawaban (Reply). Batasan waktu yang diberikan untuk menyusun memorial maupun tanggapan memorial ditentukan secara sama oleh MI, jika kedua belah pihak tidak mengaturnya. Ketentuan yang serupa juga berlaku dalam hal pemilihan bahasa resmi yang nantinya akan dipakai.
Sebuah memorial harus berisikan sebuah pernyataan fakta, hukum yang relevan dan submissions yang diminta, sedangkan tanggapan memorial harus berisikan argumen pendukung atau penolakan atas fakta yang disebutkan di dalam memorial, tambahan fakta baru jika diperlukan, jawaban atas pernyataan hukum memorial dan petitum yang diminta. Dokumen pendukung biasanya langsung menyertai memorial, akan tetapi jika dokumen tersebut terlalu panjang, maka dimasukan ke dalam lampiran. Di dalam tahap tertulis ini, MI dapat meminta dokumen dan penjelasan yang relevan dari para pihak yang bersengketa.

Presentasi Pembelaan (Oral Pleadings)
Setelah pembelaan tertulis dalam bentuk memorial diserahkan oleh para pihak, maka dimulailah proses presentasi pembelaan atau oral pleadings. MI menentukan tanggal hearing dari kasus yang diajukan dengan pertimbangan dari MI dan para pihak. Tahap ini bersifat terbuka untuk umum atau open for public, jika para pihak tidak menentukan lain dan disetujui oleh MI. Para pihak mendapat dua kali kesempatan untuk memberikan presentasi pembelaan di depan MI. Jika para pihak menginginkan pengunaan bahasa selain bahasa resmi dari MI maka pihak tersebut harus memberitahukan terlebih dahulu kepada register guna dipersiapkan terjemahan simultan yang telah dilakukan sejak 1965.
Waktu untuk proses hearing ini biasanya 2 atau 3 minggu, akan tetapi jika MI beranggapan dibutuhkan lebih lama, maka waktu untuk hearing tersebut dapat diperpanjang. Akan tetapi menurut Aturan Mahkamah 1978, pasal 60, proses hearing tersebut berada dibawah pengawasan MI dan waktu hearing disesuaikan dengan pertimbangan MI, Ketidakhadiran Salah Satu Pihak atau Non-Appearance, Keputusan Sela/Sementara atau Provisional Measures, Beracara Bersama atau Joinder Proceedings dan Intervensi atau Intervention.
Keberatan Awal (Preliminary Objections)
Keberatan awal diajukan oleh pihak yang dituduhkan atau respondent atas dasar aplikasi yang diajukan oleh pihak applicant untuk mencegah MI dari proses pengambilan keputusan. Adapun alasan yang biasanya digunakan untuk melakukan Keberatan Awal ini adalah bahwa MI tidak mempunyai jurisdiksi, aplikasi yang diajukan tidak sempurna dan hal lain yang dianggap signifikan oleh MI. Adapun keputusan MI berkenaan dengan Keberatan Awal ini adalah antara lain bahwa MI akan menerima Keberatan Awal tersebut kemudian menutup kasus yang diajukan dan menolak kemudian meneruskan proses beracara Keberatan Awal ini diatur dalam pasal 79 Aturan Mahkamah 1978.

Intervensi (Intervention)
MI memberikan hak kepada Negara lain (non-disputant party) yang bukan pihak dari sengketa di MI untuk melakukan intervensi atas sengketa yang diajukan . Hak ini dapat diajukan jika Negara tersebut beranggapan bahwa ada kepentingan dari sisi hukum atau legal nature interest yang akan terkena dengan adanya keputusan dari MI. Lebih jauh mengenai intervensi ini akan dibahas pada bab berikutnya.
Keputusan (Judgment)
Ada tiga cara untuk sebuah kasus dianggap telah selesai. Pertama, para pihak telah mencapai kesepakatan sebelum proses beracara berakhir. Kedua, pihak applicant atau kedua belah pihak telah sepakat untuk menarik diri dari proses beracara yang mana secara otomatis maka kasus itu dianggap selesai. Dan, ketiga, MI memutus kasus tersebut dengan keputusan yang dibuat berdasarkan pertimbangan dari proses beracara yang telah dilakukan.















BAB III

HAK INTERVENSI PADA MAHKAMAH INTERNASIONAL

Definisi Umum
Secara umum, tidak ada perbedaan definisi hak intervensi dalam kerangka hukum nasional maupun hukum internasional. Turunan atau derivasi kata intervensi dalam bahasa Inggris yang relevan pada karya tulis ini adalah intervention atau intervensi dalam bentuk kata benda dan intervene atau meng-intervensi dalam bentuk kata kerja. Kedua kata turunan ini mempunyai arti yang berbeda. Arti kata intervention lebih menekankan pada sebuah prosedur, sedangkan kata intervene lebih menekankan pada perbuatan untuk mendapatkan ijin dari pengadilan untuk melakukan intervensi, intervensi adalah sebuah cara yang dilakukan oleh pihak ketiga untuk ikut serta atas kepentingannya dalam sebuah proses beracara yang sedang berlangsung, Perbedaan mendasar yang menjadi karakter hak intervensi dalam hukum internasional adalah ketundukan pihak yang melakukan intervensi. Jika kita mengambil pandangan dari sisi hukum nasional, intervensi dilakukan dengan dua cara yaitu sukarela atau voluntary dan wajib atau oligatory. Hal ini berbeda jika kita mengambil pandangan dari hukum internasional berkenaan dengan intervensi, yaitu dilakukan secara sukarela atau voluntary atas dasar konsesualisme.
Sekilas persamaan hak intervensi dalam kerangka hukum nasional dan hukum internasional adalah bahwa hak intervensi sama-sama didasarkan dari kebutuhan untuk menghindari penuntutan ulang atau repetitive litigation. Jika ada beberapa kasus membahas permasalahan yang sama, maka hampir dapat dipastikan bahwa akan terjadi hasil yang bertentangan atau contradictory. Hal ini hanya akan memberikan ketidakjelasan hukum atau law obscurity dari hukum yang berlaku. Hakim Oda melihat kepentingan intervensi dalam hal penuntutan ulang ini dari segi economy of international justice, menunjuk pada sisi kemudahan beracara.
Sejarah intervensi dalam kerangka hukum internasional dimulai pada tahun 1899 dan 1907 ketika perumusan konvensi multilateral tentang Pacific Settlement of International Disputes di Den Hag, Belanda. Kemudian pada tahun 1920, jenis kedua dari intervensi terbentuk. Ketentuan bahwa sebuah Negara dapat melakukan intervensi jika kepentingan Negara tersebut terkena dampak dari sebuah putusan mahkamah, termaktub di dalam pasal 62 Statuta PCIJ. Dari titik ini hak intervensi kemudian berkembang seiring dengan kasus-kasus yang diajukan. Perlu diingat bahwa MI menganut system precedent, yaitu sistem yang memakai putusan-putusan terdahulunya atau past decisions sebagai bahan pertimbangan untuk keputusan yang akan diambil.
Kasus intervensi yang pertama adalah kasus tentang Continental Shelf antara Tunisia dan Libya Arab Jamihiriya pada tanggal 14 April 1981. Di dalam kasus ini MI memutuskan secara mutlak untuk menolak aplikasi intervensi Negara Malta. Kasus yang kedua tentang intervensi adalah kasus Continental Shelf antara Libya Arab Jamahiriya dengan Malta pada tanggal 21 Maret 1985, dimana MI kembali menolak aplikasi Negara Italia untuk melakukan intervensi. Keputusan kasus ke 2 diambil secara voting dengan 11 melawan 5 suara, berbeda dengan kasus yang pertama dimana secara mutlak menolak aplikasi Negara Malta.
Hak intervensi dalam hukum internasional mengalami perkembangan pada kasus ketiga, dimana aplikasi Negara Nikaragua di dalam kasus Land, Island and Maritime Frontier Dispute dikabulkan oleh MI. Keputusan yang dikeluarkan pada tanggal 13 September 1990, diambil secara mutlak atau unanimous. Keputusan sama yang mengabulkan intervensi oleh Negara ketiga kembali dikeluarkan pada kasus Land and Maritime Boundary antara Negara Kamerun dan Nigeria tertanggal 21 Oktober 1999. Dalam kasus ini Negara Equatorial Guinea mendapat ijin untuk melakukan intervensi pada kasus diatas.
Kasus yang paling akhir berkenaan dengan intervensi adalah kasus Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan, 2001 antara Negara Malaysia dan Indonesia. Di dalam kasus ini Negara Filipina megajukan hak intervensinya berkenaan dengan klaim Kalimantan Utara (North Borneo). MI, dengan voting 14 melawan 1 suara, menolak aplikasi Negara Filipina untuk melakukan intervensi.
Hukum Internasional tentang Intervensi
Ada dua aliran berkenaan dengan intervensi dalam hukum internasional, aliran yang mendukung dan yang menolak intervensi.
Aliran yang mendukung intervensi.
Aliran ini mempunyai pendapat antara lain sebagai berikut, pertama dari segi efektifitas. Intervensi akan berguna dalam arti baik yang menghilangkan kasus-kasus yang mempunyai objek sama maupun keputusan yang berbeda dalam kasus yang sama. Kedua dari segi kepentingan umum, yaitu tentang waktu penyelesaian kasus untuk menghindari kemungkinan kontorversi yang ada atau Interest rei publicae ut sit finis litium. Kemudian jika melihat dari perkembangan hukum internasional, Intervensi bukan hanya menyelesaikan sengketa (Solving) akan tetapi juga pencegahan sengketa (Prevention).Lebih jauh, intervensi memberikan MI kesempatan yang lebih banyak dalam rangka menarik negara-negara untuk menggunakan MI sebagai penyelesaian sengketa. Selain itu, intervensi juga memberikan MI pertimbangan hukum yang lebih objektif dengan masuknya pihak ketiga ke dalam proses beracara yang tengah berlangsung.
Aliran yang menolak intervensi
Aliran ini mempunyai pendapat sebagai berikut, pertama evolusi sejarah memperlihatkan bahwa hukum internasional lebih memilih diam atau reticence berkenaan dengan intervensi pihak ketiga di dalam sebuah penyelesaian hukum. Kedua, jika dilihat dari sisi Negara yang melakukan intervensi ketika hak intervensi tidak dibatasi, maka kemungkinan negara ketiga untuk melakukan intervensi akan lebih banyak. Kemudian pihak ketiga dapat memanipulasi hak intervensi dengan cara mendapatkan quasi-advisory opinion, tetapi tidak terikat untuk melaksanakan kewajiban dari keputusan MI. Sebaliknya, jika dilihat dari sisi Negara yang melakukan proses beracaranya, intervensi akan menyebabkan Negara cenderung untuk tidak menggunakan MI sebagai penyelesaian sengketa jika intervensi tidak dibatasi. Dan yang terakhir, walaupun keputusan MI hanya mengikat pihak yang bersengketa, akan tetapi pada faktanya pihak ketiga dapat terkena dampak putusan MI
Jenis Intervensi dan Dasar Hukum
MI membagi hak intervensi dalam dua ketegori yaitu, hak intervensi sebuah Negara atas keputusan sebuah kasus MI dan atas konstruksi sebuah perjanjian internasional.
Intervensi atas keputusan sebuah kasus MI
Secara preseden, kasus pertama intervensi jenis ini dilakukan dihadapan MI pada tahun 1981, kasus Continental Shelf antara Tunisia dan Libya Arab Jamahiriya, dimana Negara malta sebagai pihak yang melakukan intervensi. Jenis intervensi ini diatur di dalam pasal 62 dari statuta MI, yaitu :“Should a state consider that it has an interest of a legal nature which may be affected by the decision in the case, it may submit a request to the Court to be permitted to intervene”

Lebih jauh lagi, hak intervensi jenis ini diatur dalam Aturan Mahkamah, 1978 di dalam pasal 81, 83, 84 dan 85. Mengacu dari pasal-pasal tersebut diatas, pengajuan hak intervensi harus mengandung tiga hal, yaitu kepentingan yang mempunyai karakter hukum atau “interest of legal nature”, objek yang jelas dan pasti atau “precise object” dan hubungan jurisdiksi atau “jurisdictional link”.
Kepentingan yang mempunyai karakter hukum
Kelemahan atau plaucity dari elemen ini adalah bahwa tidak ada definisi yang jelas, dalam hukum internasional yang berkenaan dengan kata “interest of legal nature”. Setiap Negara bebas menginterpretasikan kepentingannya dalam mengajukan hak intervensi berkenaan dengan kasus yang sedang berlangsung di MI. Hakim ad hoc Weeramantry dalam kasus Sovereignty over Pulau Sipadan and Ligitan memberikan pernyataan yang sama berkaitan dengan definisi dari kepentingan yang mempunyai karakter hukum. Akan tetapi, ada beberapa pedoman yang telah berkembang di dalam hukum internasional tentang intervensi, yaitu :
a. Kepentingan umum yang mungkin mendapatkan dampak dari keputusan MI
b. Kepentingan politik atau sosial
c. Kepentingan tentang perkembangan umum dari hukum atau “general development of law”
d. Kepentingan tentang penggunaan prinsip dan aturan umum hukum internasional pada kasus yang dimintakan intervensi
e. Kepentingan tentang hukum yang dipakai MI di dalam kasus lain
Objek yang jelas dan pasti
Elemen ini lebih menekankan pada diskresi dari MI atas pengajuan sebuah intervensi. Tidak ada, baik aturan maupun preseden MI yang mengatur lebih lanjut berkenaan dengan objek yang jelas dan pasti dalam hak intervensi.
Hubungan Jurisdiksi
Ada dua hal yang cukup menarik mengenai elemen ketiga dari hak intervensi ini. Pertama berkenaan dengan persetujuan dari pihak yang bersengketa terhadap intervensi tersebut, dan kedua tentang kekuatan mengikat dari putusan yang akan dibuat MI kepada pihak yang mengajukan intervensi tersebut.
Persetujuan dari pihak yang bersengketa
Ada perubahan mendasar dalam hukum internasional mengenai persetujuan dalam hak intervensi. Secara sejarah, persetujuan dari pihak yang bersengketa kepada pihak yang akan melakukan hak intervensi adalah obligatory,
Kemudian paradigma ini berubah seiring dengan perkembangan hukum internasional. Pasal 62 dari Statuta MI tidak menyebutkan adanya keharusan untuk mendapat persetujuan dari pihak yang bersengketa guna melakukan sebuah hak intervensi. Jika sebuah Negara beranggapan bahwa kepentingannya akan terkena dampak dari sebuah keputusan MI, maka Negara tersebut mempunyai hak untuk melakukan intervensi.
Kekuatan mengikat putusan MI terhadap pihak yang mengajukan intervensi
Tidak ada ketentuan yang menyebutkan adanya keharusan untuk menjadi party dalam proses beracara bagi pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pihak ketiga dapat memilih untuk menjadi full party atau tidak dalam pengajuan intervensinya. Konsekwensi yang timbul akibat kondisi ini adalah bahwa sebuah Negara yang melakukan intervensi tetapi tidak consent untuk menjadi full party tidak terikat pada keputusan MI yang dibuat.
Keputusan MI hanya mengikat pada pihak yang bersengketa dan pada kasus yang tersebut saja. Akan tetapi jika hakim Oda berpendapat bahwa pihak ketiga tidak akan mendapat keadilan yang sama dibanding dengan pihak yang bersengketa jika tidak menjadi full party di dalam kasus yang sedang diproses, Menjadi full party atau tidak, nampaknya bukan suatu hal yang berpengaruh positif kepada pihak ketiga. Hal ini disebabkan karena walaupun pihak ketiga menyatakan tidak menjadi full party pada kasus yang sedang diproses, pihak ketiga tetap akan bound pada keputusan MI tersebut. Di dalam preseden kasus yang berkenaan intervensi, hakim Oda berpendapat bahwa Belum ada konsensus para hakim MI tentang urgensi adanya hubungan jurisdiksi dalam pengajuan hak intervensi jenis ini yang akan membawa pengaruh yang signifikan dalam penentuan apakah sebuah hak intervensi dapat dikabulkan atau tidak.

Intervensi atas konstruksi sebuah perjanjian internasional

Kasus pertama mengenai intervensi jenis ini terjadi di kasus S.S. Wimbledon. Pasal 63 dari Statuta MI menyebutkan Ketentuan lain yang mengatur hak intervensi jenis ini terdapat dalam Aturan Mahkamah, 1978, pasal 82, 83, 84, 86. Berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa hak intervensi atas dasar konstruksi perjanjian internasional mempunyai elemen-elemen yaitu, pertama hanya Negara yang menjadi party dari konvensi yang dapat mengajukan hak intervensi jenis ini, dan kedua keputusan MI yang diambil mengikat kepada pihak yang melakukan intervensi seperti pada pihak yang beracara di sengketa tersebut.
Berbeda dengan jenis intervensi yang pertama, intervensi atas dasar konstruksi perjanjian internasional ini belum membawa perdebatan yang substantial. Hal ini mungkin lebih disebabkan oleh sedikitnya kasus yang berkenaan dengan jenis intervensi ini. Hubungan jurisdiksi tidak menjadi isu yang signifikan karena ketentuan yang jelas bahwa hanya Negara yang party dari perjanjian tersebut yang dapat melakukan intervensi. Selain itu keputusan MI pada pihak yang melakukan intervensi jenis ini, mengikat seperti pada pihak yang beracara, jadi sifat dari intervensi ini adalah obligatory setelah consent untuk melakukan intervensi. Hal ini berbeda dengan jenis intervensi atas dasar impact keputusan MI yang diberikan pilihan untuk tunduk atau tidak sebagai party dalam kasus yang sedang berjalan.
Mekanisme untuk Mengajukan Hak Intervensi
Untuk lebih memudahkan, pembahasan tentang mekanisme mengajukan hak intervensi dibagi atas dua bagian sesuai dengan jenis intervensi yang diatur di dalam pasal 62 dan 63 dari statuta MI. Baik jenis intervensi atas dasar sebuah keputusan MI ataupun atas dasar konstruksi perjanjian internasional, ketentuan pasal 38 dari Aturan Mahkamah tentang permulaan beracara atau institution of Proceedings harus diikuti
Intervensi atas dasar sebuah keputusan MI ;
 Aplikasi Intervensi
Sebuah aplikasi intervensi jenis ini harus berisikan hal-hal sebagai berikut, yaitu :
a Nama wakil yang mengajukan aplikasi
b Kepentingan yang mempunyai karakter hukum
c Objek yang jelas dan pasti
d Dasar jurisdiksi atau hubungan jurisdiksi yang diklaim antara pihak yang mengintervensi dan pihak yang bersengketa
e Dokumen pendukung yang relevan

 Waktu Pengajuan
Waktu pengajuan yang diperbolehkan dalam intervensi jenis ini adalah secepat mungkin atau as soon as possible dan sebelum waktu pembelaan tertulis atau written proceedings ditutup. Pengecualian untuk kondisi tertentu, exceptional circumstances, aplikasi dapat diajukan pada tahap yang berikutnya.

Intervensi atas dasar konstruksi Perjanjian Internasional
 Aplikasi Intervensi
Sebuah aplikasi intervensi jenis ini harus berisikan hal-hal sebagai berikut, yaitu :
f Nama Wakil yang mengajukan aplikasi
g Ketentuan yang menyebutkan bahwa Negara yang melakukan intervensi adalah party dari konvensi yang menjadi objek sengketa
h Identifikasi dari ketentuan konvensi yang menjadi objek intervensi
i Pernyataan atau pendapat tentang objek intervensi
j Dokumen pendukung yang relevan
 Waktu Pengajuan
Waktu pengajuan yang diperbolehkan pada dasarnya sama dengan intervensi jenis pertama (pasal 62) yaitu secepat mungkin dan sebelum tanggal dimulainya pembelaan presentasi atau oral presentation. Kondisi pengecualian seperti pada intervensi jenis pertama juga berlaku pada jenis intervensi ini. Setelah diajukan, register akan mengatur pembagian administratif dari aplikasi tersebut yang kemudian MI akan menentukan tanggal dimana para pihak yang bersengketa akan memberikan pendapat tertulis mereka atau written observations. Jika terjadi keberatan atau objection dari baik satu maupun pihak yang bersengketa atas intervensi yang diajukan, maka MI akan mendengarkan seluruh pendapat dari para pihak yang bersengketa dan pihak yang mengintervensi.
Jika intervensi atas dasar keputusan MI dikabulkan atau granted, maka pihak yang melakukan intervensi akan diberikan salinan pembelaan para pihak yang bersengketa. Selain itu pihak yang melakukan intervensi juga dapat memberikan pernyataan tertulis, written statement, dalam waktu yang ditentukan MI. Para pihak yang bersengketa berhak memberikan pendapat tertulis atas pernyataan tertulis dari pihak yang melakukan intervensi, dengan jangka waktu yang ditentukan oleh MI sebelum dimulainya waktu presentasi pembelaan. Pada waktu presentasi pembelaan, pihak yang melakukan intervensi dapat memberikan pendapatnya berkenaan dengan objek sengketa. Jika intervensi atas dasar konstruksi perjanjian internasional diterima atau admitted, maka pihak yang melakukan intervensi akan diberikan salinan pembelaan para pihak yang bersengketa dan berhak memberikan pendapat tertulisnya berkenaan dengan objek dari intervensi yang bersangkutan dalam waktu yang ditentukan MI. Pada waktu presentasi pembelaan, pihak yang melakukan intervensi dapat memberikan pendapatnya berkenaan dengan objek intervensi.

BAB IV

STUDI KASUS HAK INTERVENSI


Kasus Sovereignty over Pulau Sipadan & Ligitan (Malaysia/Indonesia), Intervensi Filipina, 12 Oktober 2001

Posisi dan Keputusan Intervensi
Indonesia dan Malaysia sebagai para pihak yang bersengketa memulai beracara di MI pada tanggal 2 November 1998. Objek sengketa dalam kasus ini adalah kedaulatan atas pulau Sipadan dan Ligitan. Pada tanggal 13 Maret 2001, Negara Filipina mengajukan aplikasi untuk melakukan intervensi atas dasar pasal 62. Sebelum mengajukan aplikasi tersebut, Filipina meminta salinan pembelaan dan dokumen terkait pada tanggal 22 Februari 2001 dengan dasar pasal 53 paragraf 1 Aturan Mahkamah. Kemudian, permintaan tersebut ditolak MI. Penolakan inilah yang nantinya menjadi salah satu argument dasar dari pihak Filipina. MI menolak intervensi Filipina atas kasus kedaulatan dari Pulau Sipadan dan Ligitan dengan keputusannya tanggal 23 Oktober 2001.
Analisa Kasus
Sebelum masuk ke pembahasan inti dari tiga persyaratan utama dalam pengajuan hak intervensi, ada baiknya jika melihat terlebih dahulu keberatan yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa atas intervensi yang dilakukan. Keberatan yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa, in casu Indonesia dan Malaysia terhadap aplikasi intervensi Filipina adalah bahwa Aplikasi Filipina terlambat diajukan dan dalam aplikasinya Filipina tidak memasukan daftar dokumen pendukung.
Dalam putusannya MI menyatakan bahwa aplikasi Filipina tidak melanggar ketentuan pasal 81 paragaf 1, karena dari para pihak sendiri belum memberikan pernyataan yang tegas tentang akhir dari pembelaan tertulis. MI melihat bahwa dari perjanjian khusus yang ditandatangani para pihak, masih ada kesempatan untuk melakukan tahap akhira dari proses pembelaan tertulis. Baru pada tanggal 28 Maret 2001 para pihak yang bersengketa memberikan pernyataan untuk tidak meneruskan proses pembelaan terulis, sedangkan aplikasi Filipina diajukan pada tanggal 13 Maret 2001, walaupun akhir dari putaran ketiga pembelaan tertulis berakhir pada tanggal 2 Maret 2001. MI melihat bahwa pemberitahuan para pihak akan telah selesainya proses pembelaan tertulis memang harus ditentukan dan dinyatakan.
Untuk klaim yang kedua yaitu tidak memasukan daftar dokumen pendukung, MI juga memutuskan sama, yaitu Filipina tidak melanggar pasal yang terkait, karena maksud dari pasal 81 paragraf 3 tersebut adalah bahwa hanya jika ada dokumen pendukung maka daftar dokumen tersebut harus disertakan. Tidak ada kewajiban bagi Negara yang melakukan intervensi untuk menyertakan dokumen pendukung aplikasinya.
Kepentingan Hukum atau Interest of Legal Nature
Berkenaan dengan kepentingan hukum ini, Filipina mengajukan kepentingan hukumnya yaitu pada perjanjian-perjanjian dan bukti-bukti lain yang berkaitan dengan sengketa diatas. Lebih jauh lagi, Filipina mengajukan dua klaim untuk kepentingan hukumnya, yaitu interpretasi kata decision atau keputusan yang termasuk didalamnya reasoning atau analisa yang melatarbelakangi keputusan tersebut, dan sifat kepentingan hukum yang dapat mendasari suatu hak intervensi terjadi.
Untuk klaim yang pertama menggunakan dasar pasal 62 dengan referensi pasal 59 bahwa bukan saja hanya keputusan atau decision dari MI, akan tetapi juga analisa atau reasoning yang dapat membawa dampak pada kepentingan hukum Filipina. Dalam kaitannya dengan klaim ini, MI setuju dengan klaim Filipina karena jika mengambil textual interpretation dari redaksional kata decision, maka harus dilihat dari naskah aslinya yaitu naskah dalam Bahasa Perancis yang mempunyai arti lebih luas termasuk pada analisa dari keputusan tersebut.
Melihat dari kesamaan pandangan MI dengan Filipina, nampaknya akan membawa sedikit masalah untuk kasus-kasus yang nantinya akan diajukan ke MI. Tidak jelas mana yang lebih kuat sifat persuasive antara keputusan dengan analisa yang melatarbelakangi keputusan tersebut,
Analisa disini juga diartikan sebagai separate dan dissenting opinion dari para hakim MI. Selain itu, kemungkinan untuk intervensi akan semakin terbuka dengan adanya unsure analisa yang dapat dijadikan dasar atas dampak yang mungkin didapati atas suatu kasus. Akan tetapi, jika melihat dari sisi pertimbangan hukumnya, memang MI dapat lebih mendapatkan pertimbangan hukum jika unsur analisa mempunyai kedudukan yang sama dengan keputusan. Dalam proses keseluruhan beracara, Filipina tidak dapat membuktikan kepentingan hukum yang akan terkena dampak, baik dari unsur keputusan maupun unsur analisanya.
Klaim yang kedua mengenai sifat kepentingan hukum dari intervensi, MI melihat bahwa sifat kepentingan hukum untuk melakukan intervensi harus mengacu langsung kepada perihal atau objek sengketa. Hal ini didukung oleh mayoritas klaim dari Negara yang diperbolehkan melakukan intervensi, kasus Nikaragua dan Equatorial Guinea. Untuk klaim yang kedua ini, kembali Filipina gagal menunjukan kepentingan hukum yang mengacu langsung kepada inti sengketa. Unsur convincing demonstration kembali diambil sebagai dasar oleh MI dalam memutus klaim ini.
Objek yang jelas dan pasti atau Precise Object of Intervention

Filipina mengajukan tiga objek berkenaan dengan aplikasi intervensinya, yaitu:

“First, to preserve and safeguard the historical and legal rights of the Government of the Republic of the Philippines arising from its claim to dominion and sovereignty over the territory of North Borneo, to the extent that these rights are affected, by a determination of the Court of the question of sovereignty over Pulau Sipadan and Ligitan; Second, to intervene in the proceedings in order to inform the Honourable Court of the nature and extent of the historical and legal rights of the Republic of the Philipines which may be affected by the Court’s decision; and third, to appreciate more fully the indispensable role of the Honourable Court in comprehensive conflict prevention and not merely for the resolution of legal disputes.”

Untuk objek yang pertama dan kedua, MI mengambil formulasi yang sama dari keputusan terdahulunya tentang intervensi, bahwa melindungi dan memberikan informasi kepada MI atas hak-hak hukum yang ada, adalah diperbolehkan. Sedangkan untuk objek yang ketiga, karena dalam proses pembelaan presentasinya Filipina tidak menjelaskan serta menguatkan objeknya tersebut, maka MI menolak objek ketiga tersebut.


Hubungan Jurisdiksi atau Jurisdictional Link
Seperti yang telah diputuskan pada kasus terdahulunya, tidak diperlukan adanya hubungan jurisdiksi dalam sebuah aplikasi intervensi dengan catatan bahwa Negara yang mengajukan intervensi tidak mempunyai maksud untuk ikut beracara di dalam MI. Pada kasus ini Filipina dengan jelas menyebutkan untuk tidak menjadi pihak yang bersengketa.
Hubungan Jurisdiksi diperlukan hanya jika pihak yang melakukan intervensi bermaksud untuk menjadi pihak yang bersengketa dan maksud tersebut disetujui oleh para pihak yang sedang bersengketa.