Senin, 15 Juni 2009

KUHP Mengakomodasi Hukum Islam?

KONSEP Rancangan Undang Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Konsep RUU KUHP), memberikan gambaran tentang kodifikasi berbagai sumber hukum di Indonesia, yaitu hukum adat, agama, dan hukum positif (Barat).
Dari tiga sumber hukum yang diserap Konsep RUU KUHP itu, sorotan sangat tajam masalah penyerapan "senyampang" hukum Islam dalam kitab tersebut. Yang paling getol dikritisi penyerapan hukum perzinahan (permukahan), disusul masalah santet.
Sorotan kritis terhadap delik perzinahan khususnya, telah mengesankan telah mengalahkan pembahasan delik-delik lain yang digagas dalam Konsep RUU KUHP.
Sebagai gambaran umum, Konsep RUU KUHP mencakup 33 bab. Kalau berdasarkan deliknya, bisa dikelompokkan menjadi tujuh bagian. Pertama kelompok tindak pidana terhadap keamanan negara; kedua kelompok tindak pidana terhadap ketertiban umum; ketiga kelompok tindak pidana terhadap penyelenggaraan keadilan; keempat kelompok tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama; kelima kelompok pidana yang membahayakan keamanan umum bagi orang, barang, dan lingkungan hidup, keenam kelompok pidana kesusilaan; ketujuh kelompok pidana terhadap pemudahan.
Pengelompokan delik sepintas memiliki kesamaan dengan KUHP yang tengah berlaku. Itu suatu yang wajar, karena pada dasarnya Konsep RUU KUHP sebagian merekonstruksi KUHP yang ada, sekaligus membuat terobosan delik-delik baru maupun sistem pidananya atau penghukumannya dalam bahasa keseharian.
Kendatipun tergambar seperti KUHP yang ada, sistematika Konsep RUU KUHP memiliki frame baru yang mencerminkan pembaruan sekaligus terobosan sistem hukum pidana.
Jenis pidana
Konsep RUU KUHP menentukan jenis pidana sebagaimana KUHP terdiri dari pidana pokok, pidana mati, dan pidana tambahan. Dalam penjabaran klausul pidana pokok tergambar, pengembangan yang urgent tentang sistem pemidanaan. Terdapat lima jenis pidana pokok, yaitu pidana penjara, pidana tutupan, pidana denda, dan pidana kerja sosial.
Konsep pembaruan pidana penjara terdapat dalam pelaksanaan pidana mati termuat pada pasal 82 ayat (1) Konsep RUU KUHP: "Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama sepuluh tahun, jika:
a) reaksi masyarakat terhadap pidana mati tidak terlalu besar, b) terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki, c) kedudukan pidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting, dan d) ada alasan yang meringankan".
Ayat (2) menentukan, "jika masa percobaan sepuluh tahun terpidana menunjukkan sikap baik dan terpuji hukuman mati bisa diubah menjadi seumur hidup atau 20 tahun penjara dengan keputusan Menteri Kehakiman dan HAM".
Konsep pembaruan pidana denda sangat menonjol dalam Konsep RUU KUHP. Ditentukan di dalamnya enam kategorisasi denda secara berurutan denda Rp 150 ribu (denda I), Rp 750 ribu (II) Rp 3 juta (III), Rp 7,5 juta (IV), Rp 30 juta (V) dan Rp 300 juta (VI).
Penonjolan lain masalah konsep pidana kerja sosial bisa dijatuhkan untuk pidana penjara kurang dari enam bulan atau denda tidak lebih kategori I (Rp 150 ribu). Kerja sosial 240 jam bagi terpidana berusia di atas 18 tahun dan 120 jam kerja sosial bagi terpidana di bawah 18 tahun.
Yang tidak kalah penting, pengaturan pidana anak-anak. Konsep RUU KUHP mengatur secara khusus dan menempatkan pada bagian awal. Pasal 106 ayat (1) menentukan, anak yang belum mencapai umur 12 tahun melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, tindak pidana hanya berlaku bagi anak sudah berusia antara 12 sampai 18 tahun. Namun Demikian, pemeriksaan di pengadilan bisa ditunda setelah mendengar pertimbangan penyidik, jaksa, dan petugas kemasyarakatan.
Hal lain yang diakomodasi dalam konsep kitab hukum pidana itu delik santet. Santet masuk delik tindak pidana ketertiban umum serumpun dengan klausul penodaan bendera dan lagu kebangsaan, lambang negara, penghinaan terhadap pemerintah.
Santet diatur dalam pasal 255 ayat (1) : "Setiap orang yang menyatakan dirinya memunyai kekuatan, memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbutannya dapat menimbulkan kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan hukuman penjara lima tahun atau denda kategori V".
Dalam konsep penjelasan pemidanaan pelaku santet untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan praktik ilmu hitam (black magic) yang secara hukum kesulitan dalam pembuktiannya. Tujuannya mengakhiri kebiasaan main hakim sendiri oleh warga masyarakat yang dituduh pelaku santet, teluh, dan sejenisnya.
Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra menyebut, santet dan konconya sebagai beyond science. Oleh karena itu, yang dibuktikan bukan bagaimana cara menyantet melainkan pengakuan seseorang yang bermufakat untuk mengancam nyawa atau fisik seseorang dengan jalan ilmu hitam. Bukan membuktikan ilmu hitamnya sebagai tindak pidana melainkan perbuatannya.
Perzinahan
Perzinahan masuk kategori delik pidana kesusilaan. Banyak jenis lain dari delik ini, termasuk pornografi dan pornoaksi. Istilah yang dipakai di antaranya permukahan. Termaktub dalam pasal 419 berupa perzinahan oleh salah satu pelaku atau kedua pelaku zinah terikat dalam perkawinan atau selingkuh, pasal 420 berupa perzinahan oleh orang-orang yang tidak terikat dalam perkawinan, dan pasal 422 dalam bentuk kumpul kebo.
Pemidanaan kasus ini masuk ketegori delik aduan. Permukahan bisa dipidana dengan syarat sang istri melaporkan tindakan suaminya, ancaman hukumannya lima tahun. Apabila takut tercemar dan istri yang ditinggal selingkuh berdiam diri, maka permukahan tidak dipidana.
Demikian halnya perzinahan tanpa ikatan perkawinan, tidak dituntut pidana kalau masyarakat merasa tidak terganggu hak sosialnya, keluarga, kepala adat, kepala desa tidak melapor ke polisi. Sebaliknya, apabila perempuan yang diajak hubungan intim mengalami hamil, pihak laki-laki tidak bertanggung jawab, proses pidana bisa dilakukan dengan ancaman pidana penjara lima tahun dan denda kategori V.
Menyangkut kumpul kebo pun masuk delik aduan dengan ancaman pidana maksimal dua tahun atau denda kategori II.
Delik kesusilaan mengatur pula hubungan intim sejenis belum berumur 18 tahun, orang yang mengajak dipidana paling singkat satu tahun penjara atau maksimal tujuh tahun.
Termasuk diatur dalam delik ini juga masalah pemerkosaan yang juga masuk delik aduan. Ancaman pidananya minimum tiga tahun paling tinggi 12 tahun, disesuaikan dengan jenis perkosaan seperti disertai kekerasan atau sejenisnya.
Pemidanaan perzinahan lebih bernuansa sebagai penyerapan hukum Islam. Maka tidak mengherankan sejumlah kalangan mengkritisi bahkan berprasangka bahwa pemidanaan zina sebagai cermin keberhasilan pendekatan para politisi Islam yang menginginkan penerapan syariat Islam.
Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra yang kebetulan Ketua Umum Partai Bulan Bintang, ikut masuk deretan politisi yang dituding di balik penerapan pidana perzinahan. Sikap kritis tidak hanya datang dari kalangan nonmuslim, sejumlah aktivis berlatar belakang Islam pun terdapat yang ikut menolak pemidanaan perzinahan, selingkuh, atau kumpul kebo dengan alasan intervensi ke wilayah ranjang orang atau masalah sangat pribadi.
Nursyahbani Katjasungkana sebagai contoh yang mengritisi masalah itu. Ia minta, pasal-pasal tersebut dikeluarkan dari RUU KUHP, karena Pasal 1365 KUH Perdata telah mengatur setiap orang dapat mengajukan gugatan jika merasa dirugikan, sesuai paham apa pun, sudah cukup mengatasi masalah perzinaan, dan kumpul kebo. Oleh karena itu, ia berpendapat masalah asusila tetap dibiarkan sebagai wilayah pribadi.
Topo Santoso berpendapat bahwa pengaturan perzinahan semacam itu, di satu sisi memang dapat mencegah orang melakukan perbuatan perzinahan, hubungan tanpa ikatan kawin, kumpul kebo, tetapi di sisi lain seolah nanti ada anggapan bahwa boleh saja bersetubuh di luar nikah jika memang ia bermaksud menikahinya sesudah itu. "Tidakkah dikhawatirkan orang-orang yang sudah bertunangan akan melakukan hubungan seksual sebelum menikah," kata Topo Santoso (Seksualitas dan Hukum Pidana, Juni 1997).
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Prof.Dr. Ahmad Ali mengamini pentingnya pemidanaan perzinahan. "Salah satu contoh yang seyogianya diatur oleh KUHP baru adalah melengkapi pasal 284 KUHP sekarang yang hanya mengancam pidana bagi pelaku persenggamaan di luar nikah, hanya jika salah satu atau kedua pelakunya sudah terikat dengan perkawinan yang sah dengan pihak lain. KUPH baru nantinya, seyogianya mengancam sanksi pidana bagi setiap persenggamaan di luar nikah, siapapun pelakunya. Tentu saja berat ringannya yang harus dibedakan berzina dengan istri atau suami orang lain, sanksi pidananya harus lebih berat jika dengan gadis atau jejaka," katanya.
Pengaturan pidana perzinahan terkesan sangat khas dengan norma Islam. Karena Islam mengajarkan pentingnya ikatan perkawinan yang dipayungi hukum, sebaliknya menjatuhkan sanksi rajam terhadap pelaku perzinahan. Bahkan sebagai pencegahan perzinahan, Islam menerapkan pendekatan ekstrim berupa pertalian perkawinan pada usia muda.
K.H. Husein Muhammad berpendapat, kitab kuning menyebut perkawinan muda/kawin belia dengan istilah nikah ash-shaghir/ash-shaghirah sebaliknya nikah alkabi/alkabirah. Sementara kitab baru menyebutnya az-zawaj almubakir (pernikahan dini).
Mayoritas ulama fiqh --bahkan Ibnu Mundzir menganggap ijma' (konsensus) ulama fiqh-- mengesahkan perkawinan dini. Nabi Muhammad mengawinkan secara dini anak perempuannya (Hamzah) dengan laki-laki Ibu Salamah. Sedang UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan mengakui eksistensi tradisi nikah dini karena alasan kondisi masyarakat Indonesia.
Pernikahan antara pria dengan perempuan dimaksudkan sebagai upaya memelihara kehormatan diri (hifz al-irdh) agar mereka tidak terjerumus dalam perbuatan terlarang, memelihara kelangsungan kehidupan manusia/keturunan (hifz annasl) yang sehat, mendirikan kehidupan rumah tangga yang dipenuhi kasih sayang antara suami dan istri, serta saling membantu antara keduanya untuk kemaslahatan bersama (Fiqh Perempuan Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender, LKiS, 2001).
Apakah penyerapan salah satu ajaran dalam Islam identik dengan menerapkan syariat Islam dalam KUHP baru? Topo Santoso menjawab bahwa keinginan dan pernyataan-pernyataan perlunya digali norma hukum yang bersumber dari norma dan nilai-nilai hukum agama dan hukum tradisional, menunjukkan kesadaran perlunya digali hukum yang bersumber dan berakar pada nilai-nilai budaya moral dan keagamaan. Sebaliknya, ini menunjukkan terjadi krisis kepercayaan terhadap sumber hukum yang selama ini ada.
"Dalam rangka pembaruan hukum pidana khususnya delik zinah ini seharusnya melihat pada sudut ini. Dalam pandangan dan struktur sosial budaya masyarakat Indonesia, masalah perzinahan dan lembaga perkawinan bukan semata masalah privat dan kebebasan individual, tetapi terkait pula nilai-nilai dan kepentingan kaum dan lingkungan," tulis Topo Santoso.
Dengan dasar pemikiran ini, Topo Santoso justru melihat kekurangan signifikan kalau KUHP baru menempatkan perzinahan sebatas delik aduan.
Oleh karena itu, tidak ada alasan penyerapan klausul perzinahan ke dalam Konsep RUU KUHP diperdebatkan dan dikhawatirkan mengandung spirit Islam. Pemidanaan perzinahan perlu diresapi dari segi pentingnya perhatian serius mengingat kerugian atas kejahatan ini sangat besar. Ini bisa dibandingkan sepintas dari sampel kejahatan yang terekam media massa cetak maupun elektronik.
Persoalan substansial bukan alasan perzinahan diatur oleh agama Islam dan negara memasuki wilayah privasi warganya, melainkan kepentingan penerapan pidana perzinahan untuk melindungi manusia dari kejahatan kesusilaan dan menciptakan tertib sosial.
Lembaga Swadaya Masyarakat dan para pihak yang menentang pemidanaan perzinahan atau permukahan dengan segala bentuknya perlu bersikap jernih dan jangan mendua. Dalam kasus di Pengadilan Negeri Cibinong misalnya, hakim membebaskan AB, pimpinan sebuah yayasan, yang dituduh mencabuli anak didiknya, RS (24/10). LSM mengecam keras putusan hakim, karena hakim mengesampingkan saksi tunggal yang mengaku melihat tindak pencabulan itu.
Ini tengarai bahwa KUHP yang ada tidak mewadahi secara memadai perlindungan tindak pidana kesusilaan. Siapapun hendaknya bersikap obyektif untuk memandang kemaslahatan penerapan hukum, kalau tidak menginginkan merebaknya barbarisme.

1 komentar:

  1. mantaps pak ustadz, ijin meresume ya buat tugas, thanks.

    http://totaltren.blogspot.com/2014/10/makalah-pendidikan-agama-1.html

    BalasHapus