Kamis, 30 April 2009

Tentang Perjanjian

Ada pepatah yang mengatakan bahwa untuk menjadi sukses, orang harus berani berhutang (mengambil kredit). Terlepas apakah pepatah ini benar atau keliru, tapi layak juga untuk dibahas berbagai kemungkinannya dalam pranata hukum

Setiap kredit yang telah disepakati oleh pemberi kredit (kreditur) dan penerima kredit (debitur) maka wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian yaitu perjanjian kredit. Perjanjian itu sendir diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata. Perjanjian kredit sendiri berakar pada perjanjian pinjam meminjam sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata. Nah dalam pembuatan perjanjian kredit harus dilihat dan dipahami tentang syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu

1.Para pihak telah sepakat untuk membuat perjanjian
2.Para pihaknya cakap untuk membuat perjanjian
3.Ada hal tertentu yang diperjanjikan
4.Dan perjanjian tersebut didasarkan pada sebab yang halal.

Perjanjian kredit mempunyai fungsi yang penting baik bagi kreditur maupun bagi debitur antara lain
1.Berfungsi sebagai perjanjian pokok
2.Berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan hak antara kreditur dan debitur
3.Berfungsi sebagai alat monitoring kredit

Perjanjian kredit dalam prakteknya mempunyai 2 bentuk

1.Perjanjian dalam bentuk Akta Bawah Tangan (diatur dalam Pasal 1874 KUHPerdata)
Akta bahwa tangan mempunyai kekuatan hukum pembuktian apabila tanda tangan yang ada dalam akta tersebut diakui oleh yang menandatanganinya. Supaya akta bawah tangan tidak mudah dibantah maka diperlukan legalisasi oleh Notaris yang berakibat akta bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta otentik
2.Perjanjian dalam bentuk Akta Otentik (diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata)
Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna yang artinya akta otentik dianggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan dari para pihak

Lalu kapan dong berakhirnya perjanjian kredit, nah dalam hal ini maa berkakhirnya perjanjian kredir mengacu pada Pasal 1381 KUHPerdata dan berbagai praktek hukum lainnya yang timbul dalam hal pengakhiran perjanjian kredit. Hal ini dilakukan melalui
1.Pembayaran
2.Subrograsi (Pasal 1400KUHPerdata); penggantuan hak-hak kreditur oleh pihak ketiga yang membayar utang
3.Pembaruan utang/novasi (pasal 1413 KUHPerdata)
4.Perjumpaang utang/kompensasi (pasal 1425 KUHPerdata)

Senin, 27 April 2009

Paten Software Dalam Perspektif Hukum Paten Internasional dan UU Paten Indonesia

PENDAHULUAN

Hak kekayaan intelektual, disingkat "HKI"atau akronim "HaKI", adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR), yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia.
Pada intinya HaKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HaKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.
Pada awalnya perlindungan HaKI diberikan kepada penemu (inventor) sebagai insentif untuk melakukan penemuan atau inovasi-inovasi lainnya. Dia diberi hak monopoli untuk waktu tertentu atas temuannya tersebut. Adanya hak monopoli ini memungkinkan sang penemu untuk mendapatkan imbalan finansial atas usahanya.

Secara garis besar HaKI dibagi dalam 2 (dua) bagian, yaitu :
1. Hak cipta (copyrights); UU No.19/2002
2. Hak kekayaan industri (industrial property rights), yang mencakup:
• Paten; UU No.14/2001
• Desain industri (industrial designs); UU No.31/2000
• Merek; UU No.15/2001
• Penanggulangan praktik persaingan curang (repression of unfair competition);
• Desain tata letak sirkuit terpadu (integrated circuits); UU No.32/2000
• Rahasia dagang (trade secret); UU No.30/2000


Perjanjian-perjanjian internasional di bidang HaKI
Pada tahun 1994, Indonesia masuk sebagai anggota WTO (World Trade Organization) dengan meratifikasi hasil Putaran Uruguay yaitu Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Salah satu bagian penting dari Persetujuan WTO adalah Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade In Counterfeit Goods (TRIPs). Sejalan dengan TRIPs, Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi konvensi-konvensi Internasional di bidang HaKI, yaitu:
a. Paris Convention for the protection of Industrial Property and Convention Establishing the World Intellectual Property Organizations, dengan Keppres No. 15 Tahun 1997 tentang perubahan Keppres No. 24 Tahun 1979;
b. Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT, dengan Keppres No. 16 Tahun 1997;
c. Trademark Law Treaty (TML) dengan Keppres No. 17 Tahun 1997;
d. Bern Convention.for the Protection of Literary and Artistic Works dengan Keppres No. 18 Tahun 1997;
e. WIPO Copyrights Treaty (WCT) dengan KeppresNo. 19 Tahun 1997

Sistem HaKI

Sistem HaKI merupakan hak privat (private rights). Disinilah ciri khas HaKI. Seseorang bebas untuk mengajukan permohonan atau mendaftarkan karya intelektualnya atau tidak. Hak eksklusif yang diberikan Negara kepada individu pelaku HaKI (inventor, pencipta, pendesain dan sebagainya) tiada lain dimaksudkan sebagai penghargaan atas hasil karya (kreativitas)nya dan agar orang lain terangsang untuk dapat lebih lanjut mengembangkannya lagi, sehingga dengan sistem HaKI tersebut kepentingan masyarakat ditentukan melalui mekanisme pasar.
Di samping itu sistem HaKI menunjang diadakannya sistem dokumentasi yang baik atas segala bentuk kreativitas manusia sehingga kemungkinan dihasilkannya teknologi atau hasil karya lainnya yang sama dapat dihindarkan/dicegah. Dengan dukungan dokumentasi yang baik tersebut, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkannya dengan maksimal untuk keperluan hidupnya atau mengembangkannya lebih lanjut untuk memberikan nilai tambah yang lebih tinggi lagi.

PERMASALAHAN

Sejarah Paten
Paten pertama kali di formulasikan di Inggris pada "1623 statute of monopolies". Ide dasarnya adalah memberikan penemu suatu monopoli apabila mereka mengumumkan penemuannya[fre]. Pada teorinya sistem ini sangat baik untuk memajukan proses inovasi. Karena tanpa paten, para penemu kemungkinan akan tetap menyembunyikan penemuannya dan tidak mengumumkannya ke khalayak.
Alasan pendapat itu adalah, apabila orang lain tidak dicegah untuk memiliki/mengimitasi suatu penemuan, maka seorang penemu tidak bisa dengan cukup mengembalikan dana litbang yang telah dikeluarkan. Sehingga, walaupun manfaat sosial pari penemuan itu melebihi biaya, tanpa perlindungan paten, seorang calon peneliti akan memutuskan untuk tidak berinovasi. Pada akhirnya memperlambat proses inovasi masyarakat secara kesuluruhan. Pada UU Paten Indonesia terbaru, paten berlaku selama 20 tahun.

Problematika Paten yang Muncul
Di samping efek positif dari sistem Paten saat ini, terdapat dampak negatif yang telah dirasakan oleh para ahli terhadap penyalahgunaan sistem paten. Karena sistem Paten pada dasarnya adalah pemberian monopoli terhadap suatu produk yang berlawanan dengan semangat perdagangan adil yaitu anti-monopoli.


Paten di Indonesia
Permohonan paten diajukan kepada Ditjen Haki (Depkehham R.I.) dengan cara:
1) datang langsung ke Ditjen HaKI;
2) melalui Kanwil Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia diseluruh Indonesia.
Tahap-tahap yang harus dilalui oleh suatu permohonan paten adalah:
 pengajuan permohonan;
 pemeriksaan administratif;
 pengumuman permohonan paten;
 pemeriksaan substantif; pemberian atau penolakan;
Prosedur permintaan paten
1. Pribadi mengajukan permohonan untuk meminta paten.
2. Direktorat Paten akan mengadakan pemeriksaan formalitas.
3. Setelah dilakukan pemeriksaan secara formalitas kemudian dipublikasikan.
4. Pribadi mengajukan permohonan untuk pemeriksaan substantif.
5. Pemeriksaan paten akan melakukan pemeriksaan substantif paling lama 3 tahun.
6. Direktorat Paten akan memberikan sertifikat apabila karya tersebut benar-benar
memenuhi syarat.
7. Diumumkan dalam berita resmi paten.
Biaya Paten
Dengan membayar biaya sesuai dengan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No.26 Tahun 1999 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Kehakiman, ke BRI cabang Tangerang rekening Ditjen HKI nomor 0120.01.000303-30-1, yang besarnya yaitu: untuk permohonan paten Rp. 575.000,- per permohonan; untuk permohonan pemeriksaan substantif paten Rp. 2.000.000, (diajukan dan dibayarkan setelah 6 bulan dari tanggal pemberitahuan pengumuman paten); untuk permohonan paten sederhana Rp. 475.000,- (terdiri dari biaya permohonan paten sederhana Rp.125.000,- dan biaya permohonan pemeriksaan substantif paten sederhana Rp. 350.000,-)

Pidana Denda Pelanggaran Paten

Pidana denda (dan pidana badan) paten yaitu Rp. 500 juta (dan/atau 4 tahun).
Statistik Paten di Indonesia
Untuk paten dalam kurun yang sama tercatat 25.134 permohonan paten dan dari jumlah tersebut telah diberikan 6.286 paten. Catatan perlu diberikan tentang masih rendahnya permohonan paten yang diajukan oleh para inventor nasional. Sampai dengan tahun 2000 permohonan paten oleh inventor nasional adalah sebesar +5% dari total permohonan. Situasi demikian juga terjadi pada negara-negara lain.
Namun dalam suasana negara kita yangterus membangun dewasa ini, peningkatan permohonan paten tidak lain merupakan refleksi peningkatan pengembangan teknologi, yang pada gilirannya akan mengurangi ketergantungan kita pada teknologi asing.
Betapapun, kita harus bersyukur bahwa paten sederhana (“PS”), yang merupakan bagian dari sistem paten banyak diminati inventor nasional. Data menunjukkan permohonan PS yang terus meningkat selama jangka waktu tersebut. Jika pada tahun 1993 baru terdapat 28 permohonan, pada tahun 2000 sudah mencapai 213. Pada permulaan krisis ekonomi (1997) terdapat 80 dibanding dengan 59 permohonan pada tahun sebelumnya. Tahun 1998 naik lagi menjadi 109 permohonan PS.
Pendapatan Negara Atas Paten
Data di atas menunjukkan, sampai tingkat tertentu, apresiasi terhadap HaKI telah cukup lumayan. Dari dimensi lain, pendaftaran HaKI telah menyumbang pemasukan yang tidak kecil pula, yang dari tahun ke tahun selalu meningkat dengan rata-rata 120% dari target. Untuk tahun 1999/2000, penerimaan negara bukan pajak dari pendaftaran HaKI tercatat lebih Rp. 22 milyar, dan dari April 2000 hingga Desember 2000 terbilang lebih dari Rp. 25 milyar.
Hingga kini memang belum banyak yang mengajukan hak paten. Tak jelas apa kendalanya. Data yang dikeluarkan Direktorat Paten, Ditjen HAKI Departemen Kehakiman menunjukkan, dari 24 ribu item yang mengajukan paten di seluruh dunia, Indonesia tak lebih dari 3% alias baru 720-an.

PEMBAHASAN

Paten Software
Paten terhadap software adalah salah satu paten yang menjadi topik perdebatan hangat. Biasanya suatu program komputer hanya dilindungi dengan Hak Cipta, akan tetapi untuk lebih memonopoli ide yang terkandung di dalamnya maka diperkenalkan konsep paten terhadap software.
Terdapat beberapa organisasi di AS dan Eropa yang khusus bergerak melawan paten terhadap software. Salah satunya adalah League for Programming Freedom (LPF) yang anggotanya adalah para programmer terkenal di Internet seperti Richard Stallmann (pendiri gerakan GNU) atau Bruce Perens (salah satu pencetus Open Source Software).
Konsep paten software dianggap berbahaya karena paten jenis ini biasanya mengklaim kepemilikan terhadap algoritma. Padahal algoritma adalah setara generalnya dengan rumus matematika dan terdapat algoritma yang spesifik untuk suatu problem programming tertentu. Hal ini akhirnya dapat menghambat kebebasan memakai algoritma dan menjurus kepada persaingan tidak sehat.
Bessen dan Maskin menjelaskan bahwa vendor software besar seperti Microsoft atau Oracle kurang mendukung terhadap pematenan software. Jumlah paten para vendor besar itu sangat sedikit dibanding volume pendapatan mereka, dan mereka menyatakan bahwa paten-paten itu hanya digunakan untuk defensif.
Apa yang dipatenkan dalam software? Bukankah software sudah dilindungi dengan copyright? Yang dipatenkan dalam software adalah algoritma atau langkah-langkah yang dieksekusi oleh komputer. Algoritma terkait dengan matematik, sehingga yang dipatenkan adalah rumus-rumus matematik. Ini meresahkan banyak orang. Bayangkan, untuk menggunakan rumus matematik harus meminta ijin atau membayar royality kepada orang lain. Sebagai contoh dari rumus matematik yang dipatenkan adalah algoritma pengacakan data (encryption algoritma) yang dikenal dengan nama RSA, yang merupakan singkatan dari nama penemunya Rivest, Shamir dan Adleman. Algoritma RSA ini digunakan pada browser web (seperti Internet Explorer) dan server e-commerce.
Teknologi telekomunikasi dan komputer banyak menggunakan patent. Sebagai contoh adalah penggunaan algoritma enkripsi RSA yang umum digunakan untuk mengamankan transaksi atau komunikasi di Internet. Algoritma RSA ini dipatenkan oleh penemunya. Bayangkan bahwa “kehidupan elektronik” manusia bergantung kepada paten seseorang atau sekelompok orang. Untungnya paten tersebut sudah habis dan sekarang sudah menjadi public domain. Hal yang serupa dapat terjadi kembali. (Kasus yang sama juga terjadi dengan algoritma kompresi yang digunakan dalam format GIF yang umum digunakan sebagai format gambar di Internet. Pemilik patent GIF, Unisys, pernah diisyukan meminta bayaran dari setiap gambar yang menggunakan format tersebut.)
Dasar Paten menurut UU Paten
Menurut penjelasan umum UU Paten invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses
Pasal 2
(1). Paten diberikan untuk Invensi yang baru dan mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan dalam industri.
(2) Suatu Invensi mengandung langkah inventif jika Invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya.
(3) Penilaian bahwa suatu Invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada pada saat Permohonan diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan permohonan pertama dalam hal Permohonan itu diajukan dengan Hak Prioritas.
Pasal 5
Suatu Invensi dapat diterapkan dalam industri jika Invensi tersebut dapat dilaksanakan dalam industri sebagaimana yang diuraikan dalam Permohonan.
Penjelasan Pasal 5
Jika Invensi tersebut dimaksudkan sebagai produk, produk tersebut harus mampu dibuat secara berulang-ulang (secara massal) dengan kualitas yang sama, sedangkan jika Invensi berupa proses, proses tersebut harus mampu dijalankan atau digunakan dalam praktik.
Pasal 6
Setiap Invensi berupa produk atau alat yang baru dan mempunyai nilai kegunaan praktis disebabkan oleh bentuk, konfigurasi, konstruksi, atau komponennya dapat memperoleh perlindungan hukum dalam bentuk Paten Sederhana.
Penjelasan Pasal 6
Paten sederhana hanya diberikan untuk Invensi yang berupa alat atau produk yang bukan sekadar berbeda ciri teknis-nya, tetapi harus memiliki fungsi/kegunaan yang lebih praktis daripada Invensi sebelumnya dan bersifat kasat mata atau berwujud (tangible).
Adapun Invensi yang sifatnya tidak kasat mata (intangible), seperti metode atau proses, tidak dapat diberikan perlindungan sebagai Paten Sederhana.
Di Amerika sendiri paten software ditolak oleh banyak orang (khususnya para pakar, akademisi, di bidang ilmu komputer) dikarenakan akan menghambat inovasi. (Referensi Donald Knuth) Ketakutan atas pelanggaran HaKI, khususnya paten software ini, membuat larinya perusahaan dan programmer dari Amerika. Mereka pergi ke negara yang tidak mengakui paten software untuk melakukan penelitian, eksplorasi, dan mengembangkan inovasi-inovasi baru. Dalam hal ini pihak negara Amerika yang dirugikan. Itulah sebabnya banyak para peneliti dan akademisi software di Amerika anti terhadap paten software ini.

Beberapa contoh paten software, antara lain:
1. Algoritma Lempel-Ziv yang merupakan algoritma yang paling banyak digunakan untuk kompresi (mengecilkan ukuran berkas) gambar atau data-data lainnya.
2. Algoritma RSA yang digunakan untuk enkripsi data, seperti contohnya ketika kita mengetikkan nomor kartu kredit di situs web yang menggunakan SSL (biasanya ditandai dengan penggunaan HTTPS sebagai pengganti HTTP).

Pengalaman Amerika Serikat dalam paten software ini ternyata berdampak buruk bagi industri software mereka. Sebagai contoh, programmer di Amerika tidak dapat mengembangkan software yang berhubungan dengan DVD (misalnya seorang programmer ingin membuat DVD player) karenaada bagian tertentu yang dipatenkan. Sang programmer harus mendapat lisensi dahulu sebelum dia dapat membuat dan mendistribusikan softwarenya karena jika tidak maka dia akan melanggar paten tersebut. Untuk menghindari hal ini, programmer tersebut terpaksa pindah dari Amerika (mungkin ke Indonesia?). Ini yang meresahkan bagi pakar software di Amerika, seperti misalnya Donal Knuth (yang terkenal dengan software TeX dan buku “The Art of Computer Programming”).
Contoh kasus:
Perusahaan software XyQuest terpaksa menarik fitur “automatic correction and abbreviation expansion” dari software XyWrite buatannya karena dianggap melanggar paten yang dimiliki oleh perusahaan lain. Akibatnya pengguna software XyWrite tersebut tidak dapat menggunakan fitur tersebut. Pengguna yang dirugikan.

KESIMPULAN

Di Amerika Serikat ada perkembangan baru bahwa paten diperkenankan untuk software. Pada mulanya di dunia software hanya dikenal copyright, namun sekarang ditambah dengan paten. Bagian mana dari software yang dapat dipatenkan? Ternyata algoritma yang digunakan dalam software dapat dipatenkan. Di Indonesia, untungnya, hal ini tidak dikenal (dan mudah-mudahan tetap demikian). Banyak orang yang tidak setuju dengan adanya paten terhadap software. Pasalnya, algoritma dari software biasanya adalah rumus-rumus matematik. Bayangkan apabila “1+1” dipatenkan. Apa yang terjadi dengan ilmu pengetahuan? Perkembangan ilmu pengetahuan akan terhambat karena penelitian-penelitian dan simulasi-simulasi membutuhkan rumus rumus matematik. Orang akan takut melakukan penelitian atau membuat perangkat lunak karena salah-salah dia bisa dituntut.
Software dalam hal ini algoritmanya dapatkah didaftar sebagai paten di Indonesia?.
Pasal 7 UU Paten menyatakan: “Paten tidak diberikan untuk Invensi tentang: c. teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika.”
Sehingga algoritma dari software yang biasanya adalah rumus-rumus matematik tidak dapat didaftarkan sebagai paten.
Penjelasan umum UU Paten juga menegaskan bahwa: “Invensi tidak mencakup: (4) aturan dan metode mengenai program komputer.
Penjelasan Pasal 6
Paten sederhana hanya diberikan untuk Invensi yang berupa alat atau produk yang bukan sekadar berbeda ciri teknis-nya, tetapi harus memiliki fungsi/kegunaan yang lebih praktis daripada Invensi sebelumnya dan bersifat kasat mata atau berwujud (tangible). Adapun Invensi yang sifatnya tidak kasat mata (intangible), seperti metode atau proses, tidak dapat diberikan perlindungan sebagai Paten Sederhana.
Algoritma atau langkah-langkah yang dieksekusi oleh komputer bersifat tidak kasat mata atau tidak berwujud (intangible), karena sifatnya adalah metode atau proses (untuk menjalankan suatu program) maka tidak dapat diberikan perlindungan sebagai Paten Sederhana.

SARAN

Namun demikian jika program tersebut sudah menjadi produk jadi dalam bentuk kepingan CD (software jadi) maka yang dapat diklaim adalah yang terkait dengan Hak Cipta karena produk tersebut diproduk secara massal. Biasanya setiap meng-install suatu sofware program tertentu ke dalam komputer akan ditanya (SN/Serial Number) sebagai bukti keaslian produk tersebut dan EULA (End User Lisence Agreement) berupa pernyataan untuk tunduk dan patuh pada ketentuan-ketentuan yang tertulis dalam EULA tersebut yang isinya misalnya dilarang meng-copy untuk tujuan komersil.

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

Umum
1. Apakah yang dimaksud dengan hak kekayaan intelektual?
Hak kekayaan intelektual, disingkat "HKI"atau akronim "HaKI", adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR), yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Pada intinya HaKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HaKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.
2. Mencakup apa sajakah HaKI itu ?
Secara garis besar HaKI dibagi dalam 2 (dua) bagian, yaitu:
1. Hak cipta (copyrights);
2. Hak kekayaan industri (industrial property rights), yang mencakup:
• Paten;
• Desain industri (industrial designs);
• Merek;
• Penanggulangan praktik persaingan curang (repression of unfair competition);
• Desain tata letak sirkuit terpadu (integrated circuits);
• Rahasia dagang (trade secret);
3. Badan apakah yang berwenang mengurus HaKI di Indonesia ?
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia RI.
4. Jelaskan tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual!
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang selanjutnya disebut Ditjen HaKI
mempunyai tugas menyelenggarakan tugas departemen di bidang HaKI berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kebijakan Menteri.
Ditjen HaKI mempunyai fungsi:
a. Perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kebijakan teknis di bidang HaKI;
b. Pembinaan yang meliputi pemberian bimbingan, pelayanan, dan penyiapan standar di
bidang HaKI;
c. Pelayanan teknis dan administratif kepada semua unsur di lingkungan Direktorat
Jenderal HaKI;
5. Bagaimana susunan organisasi Direktorat Jenderal HaKI ?
Direktorat Jenderal HaKI terdiri dari:
a. Sekretariat Direktorat jenderal;
b. Direktorat Hak Cipta, Desain Industri, Tata Letak Sirkit Terpadu, dan Rahasia Dagang;
c. Direktorat Paten;
d. Direktorat Merek;
e. Direktorat Kerjasama dan Pengembangan Hak Kekayaan Intelektual;
f. Direktorat Teknologi Informasi;
Page 2
6. Apakah Indonesia terlibat dalam perjanjian-perjanjian internasional di bidang HaKI?
Ya. Pada tahun 1994, Indonesia masuk sebagai anggota WTO (World Trade Organization)
dengan meratifikasi hasil Putaran Uruguay yaitu Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Salah satu bagian penting dari Persetujuan WTO adalah Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade In Counterfeit Goods (TRIPs). Sejalan dengan TRIPs, Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi konvensi-konvensi Internasional di bidang HaKI, yaitu:
a. Paris Convention for the protection of Industrial Property and Convention Establishing the World Intellectual Property Organizations, dengan Keppres No. 15 Tahun 1997 tentang perubahan Keppres No. 24 Tahun 1979;
b. Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT, dengan Keppres No. 16 Tahun 1997;
c. Trademark Law Treaty (TML) dengan Keppres No. 17 Tahun 1997;
d. Bern Convention.for the Protection of Literary and Artistic Works dengan Keppres No. 18 Tahun 1997;
e. WIPO Copyrights Treaty (WCT) dengan KeppresNo. 19 Tahun 1997;
7. Badan apakah yang secara internasional mengurus masalah HaKI dan apakah Indonesia
termasuk salah satu anggotanya?
Badan tersebut adalah World Intellectual Property Organizations (WlPO}, suatu badan khusus PBB, dan Indonesia termasuk salah satu anggotanya dengan diratifikasinya Paris Convention for the Protection of Industrial Property and Convention Establishing the World Intellectual Property Organizations, sebagaimana tersebut dalam nomor 6 di atas.
8. Bagaimanakah kedudukan HaKI di mata dunia Internasional?
Memasuki milenium baru, hak kekayaan intelektual menjadi isu yang sangat penting yang
selalu mendapat perhatian baik dalam forum nasional maupun internasional Dimasukkannya TRIPS dalam paket Persetujuan WTO di tahun 1994 menandakan dimulainya era baru perkembangan HaKI di seluruh dunia. Dengan demikian pada saat ini permasalahan HaKI tidak dapat dilepaskan dari dunia perdagangan dan investasi. Pentingnya HaKI dalam pembangunan ekonomi dan perdagangan telah memacu dimulainya era baru pembangunan ekonomi yang berdasar ilmu pengetahuan.
9. Bagaimana pengaturan HaKI di Indonesia ?
Peraturan perundangan HaKI di Indonesia dimulai sejak masa penjajahan Belanda dengan
diundangkannya Octrooi Wet No. 136 Staatsblad 1911 No. 313, Industrieel Eigendom Kolonien 1912 dan Auterswet 1912 Staatsblad 1912 No. 600.
Setelah Indonesia merdeka, Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman No. JS 5/41
tanggal 12 Agustus 1953 dan No. JG 1/2/17 tanggal 29 Agustus 1953 tentang Pendaftaran
Sementara Paten. Pada tahun 1961, Pemerintah RI mengesahkan Undang-undang No. 21
Tahun 1961 tentang Merek. Kemudian pada tahun 1982, Pemerintah juga mengundangkan
Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Di bidang paten, Pemerintah
mengundangkan Undang-undang No. 6 Tahun 1989 tentang Paten yang mulai efektif berlaku
tahun 1991. Di tahun 1992, Pemerintah mengganti Undang-undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek dengan Undang-undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek.
Sejalan dengan masuknya Indonesia sebagai anggota WTO/TRIPs dan diratifikasinya
beberapa konvensi internasional di bidang HaKI sebagaimana dijelaskan dalam jawaban no. 7 di atas, maka Indonesia harus menyelaraskan peraturan perundang-undangan di bidang HaKI. Untuk itu, pada tahun 1997 Pemerintah merevisi kembali beberapa peraturan perundang-undangan di bidang HaKI, den gan mengundangkan:
• Undang-undang No. 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun
1982 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1987 tentang Hak
Cipta;
• Undang-undang No. 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun
1989 tentang Paten;
• Undang-undang No. 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 19
Tahun 1992 tentang Merek;
Selain ketiga undang-undang tersebut di atas, pada tahun 2000 Pemerintah juga
mengundangkan:
• Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
• Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri;
• Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Dengan pertimbangan masih perlu dilakukan penyempurnaan terhadap undang-undang
tentang hak cipta, paten, dan merek yang diundangkan tahun 1997, maka ketiga undang-
undang tersebut telah direvisi kembali pada tahun 2001. Selanjutnya telah diundangkan:
• Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten; dan
• Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
(khusus mengenai revisi UU tentang Hak Cipta saat ini masih dalam proses pembahasan di DPR)
10. Jelaskan bagaimanakah sistem HaKI itu ?
Sistem HaKI merupakan hak privat (private rights). Disinilah ciri khas HaKI. Seseorang bebas untuk mengajukan permohonan atau mendaftarkan karya intelektualnya atau tidak. Hak eksklusif yang diberikan Negara kepada individu pelaku HaKI (inventor, pencipta, pendesain dan sebagainya) tiada lain dimaksudkan sebagai penghargaan atas hasil karya (kreativitas)nya dan agar orang lain terangsang untuk dapat lebih lanjut mengembangkannya lagi, sehingga dengan sistem HaKI tersebut kepentingan masyarakat ditentukan melalui mekanisme pasar.
Di samping itu sistem HaKI menunjang diadakannya sistem dokumentasi yang baik atas
segala bentuk kreativitas manusia sehingga kemungkinan dihasilkannya teknologi atau hasil karya lainnya yang sama dapat dihindarkan/dicegah. Dengan dukungan dokumentasi yang baik tersebut, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkannya dengan maksimal untuk
keperluan hidupnya atau mengembangkannya lebih lanjut untuk memberikan nilai tambah
yang lebih tinggi lagi.

A Proposal of Patent Ownership Mechanism based on its Beneficial Value and Historical Perspective

Summary :
Intellectual Property is often quoted as a major factor for avancements of technology today. There is a strong trend that its role becoming stronger at a global world economy and at a borderless business strategy. The basic idea of Intellectual Property is laid on the beliefs that the first party developing an useful art must be granted a previledge ownership of the art. The concept covers published inventions (ie. patent system), published arts (ie. copyright) or trade secrets[Pat]. The former two systems are formalised in order to promote and to share process of innovation in the community, otherwise the innovator would keep their ideas secret to the rest of the world as in the latter case. The patent system was first formalized in England in the 1623 "statue of monopolies"[fre]. However, Copyright, or authorship, notion was known from ancient times. In contrast to todays practices, copyright act was in the purpose of government cencorship by granting printing right to favored individuals[Mur94,Mea99]. However, we strongly believe that the concept of ownership of intangible goods, such as Intellectual Properties, is akin to the concept of ownership of tangible goods, such as land[Ray99]. It should be noted that, Intellectual Property ownership is very important such that it is stated in the First Amandement of USA. As stated in previous paragraphs, Intellectual Property Protection, notably patent protections, encourages innovators to disclose their inventions or advancements in technology. The standard economic rationale for patents is to protect innovators from imitation of free riders, and thereby give them incentive to incur the cost of innovation. Conventional wisdom holds that, unless would-be competitors are constrained from imitating an invention, the inventor may not reap enough profit to cover that cost [BM00]. It is reported that recent economic growth in US economy driven by high-tech industry is accounted as results of a strong industry partnership and a proper Intellectual Property policy started at Reagan administration [Hay96,Sch98].
However, as an evolving system, current Intellectual Property Right has dark side of its own. In the origin, the concept of Intellectual Property gives the innovator a monopolistic right to utilize the innovations, including denying others utilize his property. As a part of business strategy, this right is often abused for preventing fair use of technologies [Les99]. It is reported that most of patents in hardware industry is not novel therefore invalid[TS73,Aha]. Although most of patententing activities are primarily defensive[N97], there are some patents registered only in expectation for future profits 1 thus can be considered as offensive patents.
Broad patents, such as business model patents or software patents, may also become obstacle for technology advancements. Since the coverage of such patents is not obvious, thus other innovators are
1 These kinds of patents are usually not truly technical advancements but non obvious idea with abstract implementations.
always worriying if they become objects to be sued later for patent infrigements [Sme]. Due to the fact of a huge number of patented inventions, searches of related patents is cost-prohibitive, time consuming if not impossible. To the extreme, this kind uncertainties may turn to be obstacle for further technological achievements. Furthermore, communities
2 with less patent portfolio
3 are economically and politically weak against parties with numerous patent portfolio. Having examined the weakness of current patent system, it is important , especially for communities with less-patent portfolio, to make a patent system which is more just and suited for their future. This paper is trying to propose a new concept of "patent ownership"
4 which is suited for an environment
where the gap of patent porfolio among parties is wide. The proposal is base on history of Intellectual Property Right especially of West and Islamic world.
The Intellectual Property right is not known to be exist in Islamic era. However many scolars are in position that the ownership of an intangible goods is not against islamic jurisprudence. The logic used
in our research is firt we examine the origin of concept of the current patent system. Then we make an analogy
5 to similar conditions in islamic history. Then we propose a solution for patent ownership. Then we are going to compare the solution and current patent system.
J. Bessen and E. Maskin's research revealed that in the dynamic world model, patent systems has no usefullness for technology advancements[BM00]. And the rapid growth of hi-tech indusstries is mostly an effect of almost-no-patent environment, a result of cross-licensing entire patent portfolios and close partnership among companies. J. Bessen remarked that in a world without a patent system, innnovation will probably be more accelerated[BM00]. There are several proposals for improvements of current patent systems. US Congresman Berman's proposal for obvious patent, Jeff Bezos of Amazon for short termination of business patens are among the few. However, the proposals are still partial and not in touch of the main roots of problem "the
ownership notion of the system".
Our proposed patent ownership is based on the following concepts:
Alloh as the absolute owner and theacher of knowledge (QS 96:4-5)
Everything must be utilized for the sake of entire humanity.
National land reform at the time of Caliphs Umar and the islamic taxation (zakah).
Highlight of proposed improvements:
Low entry barrier for patent registration
Ecouragement for patent sharing:
A high tax for licence revenue
Patent taxation according to its broadness and usefulness
Some mechanisms to prevent unfair use of patents, i.e. Futuristic patents.
Comparison of proposed and current patent system.
Contribution of this paper:
Understanding of the root of current patent system
A new consideration for patent ownership and ownership termination
The idea in this paper can be further extended and applied as a ground of patent law and
science advancement policy in developing country.
2 The community may refer to a company or a country
3 A common symptom for developing or less developed countries
4 Especially in in order to minimize the negative effect of current patent system
5 This known as qiyas in Islamic Law

Paten, Merek dan Hak Cipta

Pertanyaan :
Apakah di Indonesia sudah ada peraturan yang mengatur tentang dunia Cyber internet)terutama tentang hak cipta naskah. Misalnya terjadi pengambilan naskah lewat internet sebagian atau seluruhnya dan kemudian di-posting (dipasang pada web lain, apakah hal ini bisa dituntut dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Jawaban :
Memang harus diakui, Indonesia belumlah memiliki suatu peraturan perundangan-undangan khusus yang mengatur masalah cyberlaw ataupun segala kegiatan yang dilakukan melalui jaringan telekomunikasi, dalam hal ini internet. Namun demikian, tidak berarti aktifitas yang ada tidak ada hukumnya, karena bagaimanapun yang melakukan aktifitas itu adalah manusia sebagai subyek hukum, yang tentunya memiliki hak dan kewajiban.

Untuk itu, jalan yang terbaik adalah menggunakan hukum yang ada (existing law) secara maksimal. Hukum yang dimaksud disini, tentunya bukan saja peraturan perundang-undangan dalam arti yang tertulis, namun juga termasuk nettiquet yang bisa dianggap sebagai hukum yang berlaku jika seseorang "masuk" ke internet.

Sehubungan dengan masalah web content, apakah itu bentuknya gambar, tulisan/naskah, suara ataupun film dan sebagainya tentunya merupakan suatu karya cipta yang dilindungi oleh hak cipta sejak karya cipta itu dilahirkan atau dibuat.

Dan sebagaimana Hak Kekayaan Intelektual (HKI) lainnya, hak cipta merupakan hak khusus bagi si pencipta (dan orang yang menerima hak) untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya ataupun memberi izin untuk perbanyakan dan pengumumannya.

Perlu diketahui, hak cipta tidaklah dibatasi oleh medianya, sehingga jika suatu karya dialihrupakan, misalnya saja sebuah karya photografi di-scan dan dijadikan bentuk digital dan di-posting di suatu situs, maka hak ciptanya tetaplah berada pada pemilik bentuk awalnya. Dan tindakan posting ini merupakan bentuk pengumuman hak cipta karena dengan tindakan tersebut, hak cipta dapat dilihat dan dibaca.

Memang, dapat saja photo ini diberikan suatu efek khusus misalnya dengan menggunakan perangkat lunak pengolah grafik. Namun hal ini seharusnya mendapatkan izin dari pemilik hak cipta, dan atas hasil sentuhan khusus ini tentu saja si pemberi efek khusus ini memiliki hak cipta atas modifikasinya ini.

Ketentuan mengenai hak cipta ini diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No.6 tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No.7 tahun 1987 (UU No.12/1997) yang menggantikan Undang-Undang No. 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.6 tahun 1982 tentang Hak Cipta yang sebelumnya telah menggantikan Undang-Undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta.

UU No.12/1997, khususnya pasal 11 (1) menyebutkan bahwa program komputer merupakan ciptaan yang dilindungi dengan jangka waktu perlindungan selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan. Perlu diperhatikan, suatu web content disini dianggap juga program komputer.

Namun apakah pengambilan naskah lewat internet sebagian/seluruhnya itu bisa dianggap melanggar hak cipta? Jawabannya tentu saja bisa.

Namun secara teknis, akan ada beberapa permasalahan misalnya bagaimana mengetahui siapa sebenarnya pemilik situs?, di pengadilan mana penuntutan atau gugatan akan dilakukan? Bagaimanakah nantinya pelaksanaan putusan tersebut? Dan berbagai permasalahan lain. Memang permasalahan hukum yang berkaitan dengan cyberspace agak lebih kompleks karena perlu dilakukan "modifikasi" hukum terlebih dahulu.

Selain itu , mungkin ada beberapa hal yang harus diperhatikan, misalnya:

1. Coba periksa secara seksama situs tersebut, mungkin saja webmaster atau pemilik situs membuat suatu pernyataan penggunaan situs tersebut. Bisa saja, pemilik situs memberikan izin sepenuhnya atau dalam hal-hal tertentu saja, misalnya untuk tujuan pendidikan, sehingga bisa saja isinya diambil seluruh/sebagian. Namun dapat pula, pemilik situs melarang netter untuk mengambil isi situsnya.

2. Apakah tujuan dari pengambilan dan menampilkan kembali (posting) naskah tersebut. Hal ini dikarenakan sesuai dengan pasal 14 UU No.12/1997, penggunaan hak cipta pihak lain dimungkinkan dengan beberapa persyaratan, diantaranya:
a. harus disebutkan dan atau dicantumkan sumbernya;
b. untuk keperluan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu masalah; dan
c. harus tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi Pencipta, maksudnya disini adalah manfaat ekonomi dari ciptaan yang bersangkutan. Namun jika terjadi sengketa soal kepentingan yang wajar ini, maka Pengadilan yang akan menentukan tolok ukur ini.


Pertanyaan :
saya mau bertanya tentang kepastian mengenai siapakah yang dapat dinyatakan secara sah sebagai pemegang hak cipta. jika kita lihat di bagian penjelasan UU no.19/2002, pasal 5 (2) dan 35 (4), maka secara awam dapat disimpulkan bahwa kita tidak perlu "capek-capek" mendaftarkan ciptaan kita, karena tetap terlindungi. apakah pengertian awam ini benar atau tidak..? mohon penjelasan, terima kasih.
Jawaban :
Berkaitan dengan pertanyaan di atas, maka pemahaman mengenai pemegang hak cipta yang dinyatakan secara sah dapat disimpulkan dari Pasal 1 butir 4 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”) menyatakan bahwa pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut. Selanjutnya sehubungan dengan hal tersebut di atas dan pemahaman awam mengenai “sebenarnya kita tidak perlu capek-capek mendaftarkan ciptaan kita, karena tetap dilindungi” adalah tidak benar.

Pendaftaran hak cipta memang bukan suatu keharusan bagi pencipta atau pemegang hak cipta, karena baik ciptaan yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar akan dilindungi. Namun demikian apabila terjadi suatu perselisihan/persengketaan/klaim antara dua belah pihak yang menyatakan bahwa masing-masing dari mereka itu adalah pemegang hak cipta atas suatu ciptaan, maka pendaftaran atas ciptaan yang dilakukan oleh pencipta atau pemegang hak cipta atau kuasanya dapat menjadi suatu alat bukti yang kuat di depan persidangan yang sekaligus juga menjadi suatu bahan pertimbangan bagi Hakim untuk menentukan siapa pemegang hak cipta yang sah.


Pertanyaan :
nama saya rully, saya mahasiswa PTS di bandung. Saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan sbb pada masa sekarang pemasaran merek perusahaan tidak hanya dapat dipasarkan di dunia nyata tetapi dapat juga di pasarkan dalam dunia maya, yaitu di media internet dengan cara membuat nama domain. Yang menjadi pertanyaan saya adalah 1. bagaimanakah pengaturan nama domain di Indonesia? 2. apakah dampak nama domain terhadap pemasaran merek perusahaan? 3. apakah ada persamaan/perbedaan antara nama domain dan merek jika ada tolong sebutkan? 4. bagaimanakah penyelesaian apabila terjadi seketa nama domain di Indonesia?
Jawaban :

Sejauh ini tidak ada satu peraturan di Indonesia yang sacara khusus mengatur masalah domain name. Sampai dengan hari ini boleh dibilang kita masih tunduk pada pengaturan yang dipakai oleh dunia internasional ICANN (Internet Corporation for Assigned Names and Numbers), otoritas internet yang berwenang menangani masalah IP Addres, serta manajemen sistem domain name. Sehingga segala akibat hukum yang timbul dari penggunaan nama domain sudah sepatutnya tunduk pada ketentuan yang telah ditetapan oleh badan tersebut tersebut. Jika terjadi sengketa nama domain maka tunduk pada UDRP (Uniform Dispute Resolution), yang merupakan ketentuan ICANN tentang penyelesaian sengketa domain name. Misalnya pada kasus Channel 5 vs. PT Pancawana Indonesia, panelis yang memeriksa sengketa memastikan terlebih dahulu apakah pihak yang di-complaint terikat dengan ketentuan UDPR dari ICANN. Caranya, dengan meminta keterangan dari pihak registrar (IAREgistry.com) sebagai tempat pendaftaran. Belum ada satu tanda-tanda bahwa Indonesia akan meratifikasi UDRP sebagai undang-undang.

Kabar terakhir, WIPO (world intellectual property organization) Second Domain Name Process merekomendasikan kepada dunia internasional, perluasan perlindungan nama domain dari pendaftaran secara tanpa hak dan beritikad buruk.



Tentu saja kemajuan teknologi akan berdampak pada masyarakat langsung maupun tidak langsung. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa perolehan nama domain adalah first come first serve. Hal ini akan mengakibatkan tidak mungkin suatu nama perusahaan didaftarkan dua kali. Sehingga jika seseorang melakukan pendaftaran nama domain dengan menggunakan merek dagangnya atau merek orang lain, maka orang yang pertama kali mendaftaran nama domain tersebut memiliki hak atas nama domain tersebut. Kasus di lapangan yang sering terjadi adalah, orang mendaftarkan merek dagang orang lain tanpa sepengetahuan dari si pemilik merek dagang sesungguhnya. Penyelesaian kasus ini biasanya disandarkan pada legitimate interest dari si pendaftar. Dalam hal ini harus dibuktikan, apakah yang bersangkutan memiliki iktikad tidak baik (bad faith) pada saat melakukan pendaftaran. Penggunaan merek dagang (perusahaan) sebagai nama domain menjadikan merek dagang tersebut dikenal oleh banyak orang di seluruh dunia. Selain mudah dan mampu menjangkau seluruh dunia, pemasaran merek dagang melalui domain akan menekan biaya promosi yang sanagt besar sekali. Karena kita tidak perlu mendatangi konsumen satu-persatu, cukup hanya memajang merek dagang beserta produknya (barang dan jasa). Untuk lebih jelasnya anda dapat membaca literatur yang berkaitan dengan nilai positif dan negatif dari penggunaan sebuah teknologi dalam dunia perdagangan.

Ketentuan mengenai merek bisa anda baca dalam Undang-undang No 15 tahun 2001 tentang Merek. Dalam ketentuan tersebut dijelaskan batasan apa yang dimaksud dengan merek (merek dagang, merek jasa, merek kolektif). Namun secara umum merek adalah, tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

Sedang nama domain belum ada satu peraturan yang memberikan definisi atau batasannya. Namun jika ditanyakan apakah ada pesamaan dan perbedaan antara domain name dengan merek, agak sulit juga menjawabnya. Karena dengan adanya teknologi internet, banyak pemilik merek mendaftarkan merek dagangnya. Dalam hal ini ketentuan mengenai merek bisa diterapkan.

Namun yang harus dipahami disini, domain name adalah konsep penamaan dalam dunia internet untuk memudahkan seseorang dalam berinteraksi (alamat seseorang/IP address), sedang merek merupakan konsep kepemilikan. Sehingga dari situ dapat ditarik, bahwa nama domain adalah sekedar alat, sedang merek itu sendiri tetap tunduk pada kaidah merek yang ada. Dalam beberpa kasus, cara ini tidak bisa langsung diterapkan, karena belum tentu suatu nama domain adalah suatu merek yang digunakan oleh seseorang.

HAK CIPTA

Umum
1. Apakah hak cipta itu?
Hak cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Apakah yang dimaksud dengan pencipta?
Yang dimaksud dengan pencipta adalah:
Seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan
berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang
dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi;
3. Siapakah yang dianggap sebagai pencipta atau pemegang hak cipta terhadap suatu ciptaan?
Jika suatu ciptaan terdiri dari beberapa bagian tersendiri yang diciptakan dua orang atau lebih
maka yang dianggap sebagai pencipta ialah orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian
seluruh ciptaan itu, atau jika tidak ada orang itu, orang yang menghimpunnya, dengan tidak
mengurangi hak cipta masing-masing atas bagian ciptaannya.
Jika suatu ciptaan yang dirancang seseorang, diwujudkan dan dikerjakan oleh orang lain di
bawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang, maka penciptanya adalah orang yang
merancang ciptaan itu.
Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan
pekerjaannya, maka pihak yang untuk dan dalam ciptaan itu dikerjakan adalah pemegang hak
cipta, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak pembuat
sebagai penciptanya apabila penggunaan ciptaan itu diperluas keluar hubungan dinas.
Ketentuan sebagaimana dimaksud di atas berlaku pula bagi ciptaan yang dibuat pihak lain
berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam hubungan dinas.
Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, maka pihak yang
membuat karya cipta itu dianggap sebagai pencipta dan pemegang hak cipta, kecuali apabila
diperjanjikan lain antara kedua pihak.
Jika suatu badan hukum mengumumkan bahwa ciptaan berasal daripadanya dengan tidak
menyebut seseorang sebagai penciptanya, maka badan hukum tersebut dianggap sebagai
penciptanya, kecuali jika dibuktikan sebaliknya.
4. Siapakah pemegang hak cipta?
Pemegang hak Cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, atau orang yang menerima hak
tersebut dari pencipta, atau orang lain yang menerima lebih lanjut hak dari orang tersebut di atas.
5. Apakah yang dimaksud dengan ciptaan?
Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta dalam bentuk yang khas dan menunjukkan
keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra.
6. Sebutkan dasar perlindungan hak cipta!
Hak cipta diatur dalam Undang-undang No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang No.7 Tahun 1987 dan diubah lagi dengan Undang-undang No.12
Tahun 1997 (selanjutnya disebut UUHC) beserta peraturan pelaksanaannya yaitu:
- Peraturan Pemerintah RI No.14 Tahun 1986 Jo Peraturan Pemerintah RI No.7 Tahun 1989
tentang Dewan Hak Cipta;
- Peraturan Pemerintah RI No.1 Tahun 1989 tentang Penerjemahan dan/atau Perbanyak
Ciptaan untuk Kepentingan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, Penelitian dan Pengembangan;
- Keputusan Presiden RI No.18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Berne Convention For The
Protection of Literary and Artistic Works;
- Keputusan Presiden RI No.19 Tahun 1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty;
- Keputusan Presiden RI No.17 Tahun 1988 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai
Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta atas Karya Rekaman Suara
antara Negara Republik Indonesia dengan Masyarakat Eropa;
- Keputusan Presiden RI No.25 Tahun 1989 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai
Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia
dengan Amerika Serikat;
- Keputusan Prcsiden RI No.38 Tahun 1993 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai
Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia
dengan Australia;
- Keputusan Presiden RI No.56 Tahun 1994 Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal
Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan Inggris;
- Peraturan Menteri Kehakiman RI No. M.01-HC.O3.01 Tahun 1987 tentang Pendaftaran
Ciptaan;
- Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.04.PW.07.03 Tahun 1988 tentang Penyidikan Hak
Cipta;
- Surat Edaran Menteri Kehakiman RI No. M.01.PW.07.03 Tahun 1990 tentang Kewenangan
Menyidik Tindak Pidana Hak Cipta;
- Surat Edaran Menteri Kehakiman RI No. M.02.HC.03.01 Tahun 1991 tentang Kewajiban
Melampirkan NPWP dalam Permohonan Pendaftaran Ciptaan dan Pencatatan Pemindahan
Hak Cipta Terdaftar.
7. Apakah suatu ciptaan perlu didaftarkan untuk memperoleh perlindungan hak cipta?
Pendaftaran ciptaan tidak merupakan suatu kewajiban untuk mendapatkan hak cipta. Namun
demikian pencipta maupun pemegang hak cipta yang mendaftarkan ciptaannya dapat
menjadikan surat pendaftaran ciptaan tersebut sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila
timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan tersebut.
8. Sebutkan arti beberapa istilah dalam hak cipta seperti: pelaku, produser rekaman suara dan
lembaga penyiaran!
Pelaku adalah aktor, penyanyi, pemusik, penari atau mereka yang menampilkan, memperagakan,
mempertunjukkan, menyanyikan, menyampaikan, mendeklamasikan, atau mempermainkan
suatu karya musik, drama, tari, sastra dan karya seni lainnya.
Produser rekaman suara adalah orang atau badan hukum yang pertama kali merekam atau
memiliki prakarsa untuk membiayai kegiatan perekaman suara atau bunyi baik dari suatu
pertunjukan maupun suara atau bunyi lainnya.
Lembaga penyiaran adalah organisasi penyelenggara siaran, baik lembaga penyiaran pemerintah
maupun lembaga penyiaran swasta yang berbentuk badan hukum yang melakukan penyiaran
atas suatu kerja siaran dengan menggunakan transmisi dengan atau tanpa kabel atau melalui
sistim elektromagnetik lainnya.
9. Apakah hak cipta itu dapat dialihkan?
Hak cipta dapat dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian karena :
- pewarisan;
- hibah;
- wasiat;
- dijadikan milik negara;
- perjanjian yang harus dilakukan dengan akta dengan ketentuan bahwa perjanjian itu hanya
mengenai wewenang yang disebut di dalam akta itu.
10. Ciptaan apa saja yang dilindungi oleh UUHC?
Dalam UUHC, ciptaan yang dilindungi ialah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan
sastra yang meliputi karya:
- buku, program komputer, pamflet, susunan perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan
semua hasil karya tulis lainnya;
- ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lainnya yang diwujudkan dengan cara diucapkan;
- alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
- ciptaan lagu atau musik dengan atau tanpa teks, termasuk karawitan, dan rekaman suara;
- drama, tari (koreografi), pewayangan, pantomim;
- karya pertunjukan;
- karya siaran;
- seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat,
seni patung, kolase, seni terapan yang berupa seni kerajinan tangan;
- arsitektur;
- peta;
- seni batik;
- fotografi;
- sinematografi;
- terjemahan, tafsiran, saduran, bunga rampai dan karya lainnya dari hasil pengalihwujudan.
11. Apakah yang tidak didaftarkan sebagai ciptaan?
- ciptaan di luar bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra;
- ciptaan yang tidak orsinil;
- ciptaan yang tidak diwujudkan dalam suatu bentuk yang nyata;
- ciptaan yang sudah merupakan milik umum;
- ketentuan yang diatur dalam Pasal 12 UUHC.
12. Bagaimana perlindungan hak cipta atas benda budaya nasional?
- Negara memegang hak cipta atas karya peninggalan sejarah, prasejarah dan benda budaya
nasional lainnya;
- Hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama dipelihara dan dilindungi oleh negara
dan sekaligus negara sebagai pemegang hak ciptanya terhadap luar negeri.
13. Bagaimana posisi Indonesia di bidang hak cipta di dunia internasional?
Indonesia saat ini telah meratifikasi konvensi international di bidang hak cipta, yaitu: Berne
Convention tanggal 7 mei 1997 dengan Keppres No.18 Tahun 1997 dan dinotifikasikan ke WIPO
pada tanggal 5 juni 1997, Berne Convention tersebut mulai berlaku efektif di Indonesia pada
tanggal 5 September 1997. Dengan berlakunya Berne Convention di Indonesia maka
konsekuensinya Indonesia harus melindungi ciptaan dari seluruh negara anggota Berne
Convention.
14. Dalam hal apa suatu pendaftaran ciptaan dinyatakan hapus?
Dalam Pasa1 38 UUHC disebutkan bahwa kekuatan hukum dari suatu pendaftaran ciptaan hapus
karena:
- penghapusan atas permohonan orang, suatu badan hukum yang namanya tercatat sebagai
pencipta atau pemegang hak cipta;
- lampau waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dengan mengingat Pasal 27, dan Pasal
28;
- dinyatakan batal oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
15. Berapa lama perlindungan atas suatu ciptaan?
Lama perlindungan suatu ciptaan dapat dikatagorikan adalah :
- ciptaan buku, ceramah, alat peraga, lagu, drama, tari, seni rupa, arsitektur, peta, seni batik,
terjemahan, tafsir, saduran, berlaku selama hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah
pencipta meninggal dunia;
- ciptaan program komputer, sinematografi, rekaman suara, karya pertunjukan, karya siaran,
berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan;
- ciptaan atas fotografi, berlaku selama 25 tahun sejak pertama kali diumumkan dan ciptaan
atas karya susunan perwajahan karya tulis yang diterbitkan, berlaku selama 25 tahun sejak
pertama kali diterbitkan;
- ciptaan yang dimiliki atau dipegang oleh badan hukum, berlaku selama 50 tahun sejak
pertama kali diumumkan;
- untuk hak cipta yang berupa fotografi dan susunan perwajahan karya tulis yang diterbitkan
dan dipegang oleh suatu badan hukum berlaku selama 25 tahun;
- ciptaan yang dipegang atau dilaksanakan oleh negara berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (2)
huruf b, berlaku tanpa batas.
16. Bagaimana tahap-tahap pelaksanaan lisensi wajib?

Pelaksanaan lisensi wajib ditentukan 3 tahapan yaitu :
a. Pertama mewajibkan pemegang hak cipta untuk melaksanakan sendiri penerjemahan
dan/atau perbanyakan ciptaan tersebut;
b. Apabila hal pertama tidak dipenuhi oleh pemegang hak cipta, dimintakan untuk memberikan
izin menerjemahkan atau memperbanyak kepada orang lain;
c. Apabila hal kedua juga tidak dapat dipenuhi maka pemerintah melaksanakan sendiri
penerjemahan dan atau perbanyakan ciptaan tersebut.
17. Apakah yang dimaksud dengan lisensi wajib dalam kaitannya dengan undang-undang hak cipta?
Lisensi wajib ialah izin yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman untuk menerjemahkan atau
memperbanyak suatu ciptaan untuk suatu tujuan pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian dan
pengembangan setelah melalui prosedur sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No.1
Tahun 1989.
18. Bagaimana tata cara pelaksanaan lisensi wajib?
Masalah lisensi wajib diatur dalam Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 1989, dimana ditetapkan
syarat-syarat untuk dapat dikeluarkannya suatu lisensi wajib yaitu:
- Kepada pemegang hak cipta pertama kali diminta untuk menerjemahkan atau memperbanyak
ciptaan tersebut;
- Apabila hal tersebut di atas tidak dapat dilakukan oleh pemegang hak cipta, dimana
pemegang hak cipta tersebut memberikan izin kepada orang atau badan hukum di Indonesia
untuk menerjemahkan atau memperbanyak;
- Apabila hal tersebut di atas juga tidak ditanggapi oleh pemegang hak cipta, Menteri
Kehakiman setelah mendengar pendapat dewan hak cipta, akan mengeluarkan izin untuk
menerjemahkan atau memperbanyak.
19. Apakah tugas dewan hak cipta?
Dewan hak cipta yang diangkat oleh Presiden berdasarkan usulan Menteri Kehakiman,
mempunyai tugas membantu pemerintah dalam memberikan penyuluhan, bimbingan dan
pembinaan tentang hak cipta.
Permohonan Pendaftaran Ciptaan
20. Bagaimana syarat-syarat permohonan pendaftaran ciptaan?
- Mengisi formulir pendaftaran ciptaan rangkap dua (formulir dapat diminta secara cuma-cuma
pada kantor Ditjen HaKI), lembar pertama dari formulir tersebut ditandatangani di atas
meterai Rp. 6.000,- (enam ribu rupiah);
- Surat permohonan pendaftaran ciptaan mencantumkan:
nama, kewarganegaraan dan alamat pencipta;
nama, kewarganegaraan dan alamat pemegang hak cipta; nama, kewarganegaraan
dan alamat kuasa; jenis dan judul ciptaan;
tanggal dan tempat ciptaan diumumkan untuk pertama kali;
Uraian ciptaan rangkap 3;
- Surat permohonan pendaftaran ciptaan hanya dapat diajukan untuk satu ciptaan;
- Melampirkan bukti kewarganegaraan pencipta dan pemegang hak cipta berupa fotocopy KTP
atau paspor;
- apabila pemohon badan hukum, maka pada surat permohonannya harus dilampirkan
turunan resmi akta pendirian badan hukum tersebut;
- Melampirkan surat kuasa, bilamana permohonan tersebut diajukan oleh seorang kuasa,
beserta bukti kewarganegaraan kuasa tersebut;
- Apabila permohonan tidak bertempat tinggal di dalam wilayah RI, maka untuk keperluan
permohonan pendaftaran ciptaan ia harus memiliki tempat tinggal dan menunjuk seorang
kuasa di dalam wilayah RI;
- Apabila permohonan pendaftaran ciptaan diajukan atas nama lebih dari seorang dan atau
suatu badan hukum, maka nama-nama pemohon harus ditulis semuanya, dengan
menetapkan satu alamat pemohon;
- Apabila ciptaan tersebut telah dipindahkan, agar melampirkan bukti pemindahan hak;
- Melampirkan contoh ciptaan yang dimohonkan pendaftarannya atau penggantinya;
- Membayar biaya permohonan pendaftaran ciptaan sebesar Rp. 75.000,-, khusus untuk
permohonan pendaftaran ciptaan program komputer sebesar Rp. 150.000,-;
- Melampirkan NPWP berdasarkan Surat Edaran Menteri Kehakiman RI No. M.02.HC.03.01
tahun 1991 tentang kewajiban melampirkan NPWP dalam permohonan pendaftaran ciptaan
dan pencatatan pemindahan hak ciptaan terdaftar ditegaskan bahwa permohonan
pendaftaran ciptaan serta pencatatan pemindahan hak atas ciptaan terdaftar, yang diajukan
atas nama pemohon yang berdomisili di wilayah Indonesia diwajibkan melampirkan NPWP.
Pelanggaran Hak Cipta
21. Perbuatan apa yang dimaksud dengan pelanggaran hak cipta?
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu pelanggaran hak cipta apabila perbuatan tersebut
melanggar hak khusus dari pencipta atau pemegang hak cipta.
22. Apakah pencipta atau pemegang hak cipta dapat mengajukan gugatan perdata terhadap pihak
yang melakukan pelanggaran?
Pencipta atau pemegang hak cipta yang sebenamya berhak mengajukan gugatan ganti rugi ke
pengadilan negeri atas pelanggaran hak ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang
diumumkan atau hasil perbanyakannya.
23. Bagaimana pengaturan tentang ketentuan pidana dalam undang-undang hak cipta?
Tindak pidana bidang hak cipta dikategorikan sebagai tindak kejahatan dan ancaman pidananya
diatur dalam Pasal 44 UUHC.
24. Siapa yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana di bidang hak cipta?
Selain penyidik pejabat Polisi Negara RI juga pejabat pegawai negeri tertentu di lingkungan
departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan hak cipta
(Departemen Kehakiman) diberi wewenang khusus sebagai penyidik, sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang hak cipta (Pasal 47 UUHC).

EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN APABILA DEBITOR CIDERA JANJI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Pengertian Hak Tanggungan
“Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain”.

Ada beberapa unsur pokok dari Hak Tanggungan yang termuat di dalam definisi tersebut. Unsur-unsur pokok tersebut yaitu :
1)Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang.
2)Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.
3 Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja,tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.
4)Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu.
5)Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

B. Kedudukan istimewa kreditor pemegang Hak Tanggungan
Hukum mengenai perkreditan modern yang dijamin dengan HT mengatur perjanjian dan hubungan utang-piutang tertentu antara kreditor dan debitor, yang meliputi hak kreditor untuk menjual lelang harta kekayaan tertentu yang ditunjuk secara khusus sebagai jaminan dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, jika debitor cidera janji. Dalam mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut kreditor pemegang HT mempunyai hak mendahului daripada kreditor-kreditor lain. (“droit de preference”). HT juga tetap membebani obyek HT di tangn siapapun benda tersebut berada. Ketentuan ini berarti bahwa kreditor pemegang HT tetap berhak menjual lelang benda tersebut biarpun sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain. (“droit de suite”)

Pasal 21 UUHT memberikan jaminan terhadap hak dari pemegang Hak Tanggungan apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit artinya apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan paillit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan Undang-Undang Hak Tanggungan.

Dengan demikian, objek Hak Tanggungan tidak akan disatukan dengan harta kepailitan untuk dibagi kepada Kreditor-kreditor lain dari pemberi Hak Tanggungan. Ketentuan pasal ini memberikan penegasan mengenai kedudukan yang preferent dari pemegang Hak Tanggungan terhadap objek Hak Tanggungan terhadap kreditor-kreditor lain.


BAB II
PEMBAHASAN

Eksekusi Hak Tanggungan dan Penjualan di Bawah Tangan
A. Eksekusi Hak Tanggungan
Apabila debitor cidera janji, obyek HT oleh kreditor pemegang HT dijual melalui pelelangan umum menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kreditor pemegang HT berhak mengambil seluruh atau sebagian dari hasil pelelangan tersebut untuk pelunasan piutangnya yang dijamin dengan HT tersebut, dengan hak mendahului daripada kreditor-kreditor yang lain. Inilah yang disebut eksekusi HT.

Kreditor berhak mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari hasil penjualan obyek HT, dengan hak mendahului daripada kreditor lain yang mempunyai peringkat yang lebih rendah atau yang bukan kreditor pemegang HT. dalam hal hasil penjualan itu lebih besar daripada piutang tersebut yang setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi HT untuk memenuhi kewajibannya yang lain.

Hak Tanggungan bertujuan untuk menjamin utang yang diberikan pemegang Hak Tanggungan kepada debitor. Apabila debitor cidera janji, tanah (hak atas tanah) yang dibebani dengan Hak Tanggungan itu berhak dijual oleh pemegang HT tanpa persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan dan pemberi Hak Tanggungan tidak dapat menyatakan keberatan atas penjualan tersebut.

Agar pelaksanaan penjualan itu dapat dilakukan secara jujur (fair), UUHT mengharuskan agar penjualan itu dilakukan melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. Dengan ditentukannya oleh pasal 20 ayat (1) UUHT.

Pasal 6 UUHT memberikan kewenangan kepeda pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual Objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri. Dengan demikian pemegang Hak Tanggungan pertama tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu dari pemberi Hak Tanggungan dan tidak perlu pula meminta Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Setempat untuk melakukan eksekusi tersebut.

B. Penjualan di Bawah Tangan
Pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilakukan melalui pelelangan umum, karena dengan cara demikian diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek HT yang dijual. Dalam keadaan tertentu apabila melalui pelelangan umum diperkirakan tidak menghasilkan harga tertinggi, atas kesepakatan pemberi dan pemegang HT dan dipenuhinya syarat-syarat tertentu, dimungkinkan eksekusi dilakukan dengan cara penjualan obyek HT oleh kreditor pemegang HT di bawah tangan, jika dengan cara demikian itu akan dapat diperolah haraga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Hal ini ditentukan dalam Pasal 20 ayat (2) UUHT.

Penjualan obyek HT “di bawah tangan” artinya penjualan yang tidak melalui pelelangan umum. Namun penjualan tersebut tetap wajib dilakukan menurut ketentuan PP 24/1997 tentang Pendaftaran tanah. Yaitu dilakukan di hadapan PPAT yang membuat aktanya dan diikuti dengan pendaftarannya di kantor Pertanahan.

Dengan ketentuan seperti ini berarti Bank tidak mungkin melakukan penjualan di bawah tangan terhadap objek Hak Tanggungan atau agunan kredit itu apabila debitor tidak menyetujuinya karena penjualan di bawah tangan seperti ini hanya dapat dilakukan bila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan. Dikuatirkan jual beli di bawah tangan dianggap merupakan transaksi yang melanggar hukum sehingga dapat terancam batal demi hukum atau dapat dibatalkan oleh hakim (atas permintaan pihak-pihak tertentu, termasuk atas permintaan pemberi Hipotik itu sendiri), karena di dalam ketentuan Hipotik tidak secara tegas menentukan boleh atau tidak dilakukan penjualan dibawah tangan atas objek Hipotik. Hal inlah yang menimbulkan banyak keraguan didalam masyarakat.

Berdasarkan surat kuasa untuk menjual dibawah tangan dari pemberi Hak Tanggungan sebenarnya jual-beli itu sah saja akan tetapi apabila ternyata penjualan itu terjadi dengan harga yang jauh di bawah harga wajar, pemberi hak tanggungan dan debitor itu sendiri (dalam hal debitor bukan pemilik objek Hak Tanggungan) dapat mengajukan gugatan terhadap bank. Gugatan itu sendiri bukan diajukan terhadap pelaksanaan penjualannya, tetapi berdasarkan dalih bahwa penjualan objek Hak Tanggungan harus dilakukan melalui pelelangan umum. Harga penjualan itu yang dinilai tidak wajar, dan dalih dapat diajukan oleh penggugat adalah bahwa bank telah melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan kepatutan atau bertentangan dengan keadilan atau bertentangan dengan asas I’tikad baik.

Sesuai dengan asas kepatutan dan I’tikad baik, bank tidak menentukan sendiri harga jual atas barang-barang agunan dalam rangka penyelesaian kredit macet nasabah debitur. Penaksiran harga dilakukan oleh suatu perusahaan penilai yang independen dan telah mempunyai reputasi baik. Dalam hal penjualan dilakukan dibawah tangan, dan harga tidak ditetapkan sendiri oleh bank, tetapi berdasarkan kesepakatan antara pemegang dan pemberi Hak Tanggungan atau berdasarkan penilaian harga oleh suatu perusahaan penilai yang independent.

Menurut Pasal 20 ayat (3) UUHT, pelaksanaan penjualan di bawah tangan hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.Maksud dari ketentuan pasal tersebut adalah untuk melindungi pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga, dan kreditor lain dari pemberi Hak Tanggungan. Pengumuman melalui media massa selain surat kabar, dapat dilakukan misalnya melalui radio atau televisi.

Apabila pemberi Hak Tanggungan atau debitor (dalam hal debitor bukan pemilik objek Hak Tanggungan) ingin menghindari penjualan umum (pelelangan) atas objek Hak Tanggungan, hal itu hanya dapat dilakukan apabila pemberi Hak Tanggungan atau debitor melakukan pelunasan hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan beserta biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan. Pelunasan itu masih tetap dapat dilakukan sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan.

C. Sanksi-sanksi administratif
Untuk menjamin kepastian hukum serta memberikan perlindungan kapada pihak-pihak yang berkepentingan, ditetapkan sanksi administratif yang dapat dikenakan kepada para pelaksana yang bersangkutan, atas pelanggaran atau kelalaian dalam memenuhi berbagai ketentuan pelaksanaan tugasnya masing-masing. Selain itu apabila mamanuhi syarat yang diperlukan, yang bersangkutan masih dapat digugat secara perdata dan/atau dituntut pidana.

Sanksi administratif itu dapat berupa tegoran lisan, tegoran tertulis, pemberhentian sementara dari jabatan atau pemberhentian tetap dari jabatan, disesuaikan dengan berat ringannya pelanggaran atau kelalaian. Sanksi ini tertuju kepada PPAT dan notaris.


BAB III
PENUTUP

Kemudahan dalam pelaksanaan eksekusi HT dan diberikannya kepada kreditor pemegang HT kedudukan istimewa dalam bentuk “droit de preference dan droit de suite” merupakan ciri HT sebagai suatu lembaga hak jaminan atas tanah yang khas dan kuat. Dalam hubungan dengan itu seluruh tatacara pembebanan HT tersebut ketentuannya harus diatur secara rinci, yang perlu benar-benar diperhatikan agar keistimewaan yang disediakan dapat dinikmati oleh kreditor yang bersangkutan.

Menurut hukum, apabila debitor cidera janji, baik kreditor pemegang HT maupun kreditor biasa dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan melalui gugatan perdata. Tetapi kita mengetahui penyelesaian utang-piutang melalui acara tersebut memakan waktu dan biaya. Maka dengan diadakannya lembaga HT disediakan cara penyelesaian yang khusus tersebut.

Apabila pemberi HT dinyatakan pailit, maka kreditor pemegang HT tetap berwenang melakukan segala hal yang diperolehnya menurut UUHT. Dalam jangka waktu 90 hari terhitung sejak diputuskan bahwa pemberi HT dinyatakan pailit, seluruh harta kekayaan pemberi HT yang dijaminkan akan dikuasai oleh kurator sampai masalah pelunasan hutang antara pemberi dan penerima HT selesai dan penyelesaian masalah ini ditangani oleh Pengadilan Niaga.

Janji-janji dalam Hak Tanggungan

I. Janji Agar Pemberi Hak Tanggungan Tidak Melepaskan haknya Atas Tanah Yang Menjadi Obyek Hak Tanggungan.

Sebagaimana menurut ketentuan pasal 18 ayat 1 huruf d UUHT bahwa hak tanggungan hapus karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan itu. Hapusnya hak atas tanah dapat terjadi antara lain karena pemberi hak tanggungan setelah dibebakannya hak tanggungan itu kemudian melepaskan secara sukarela hak atas tanah itu. Demi dapat memberikan perlindungan kepada pemegang hak tanggungan agar pemberi hak tanggungan tidak melepaskan hak atas tanah secara sukarelasehingga dapat merugikan pemegang hak tanggungan.


II. Janji Bahwa Pemegang Hak Tanggungan Memperoleh Ganti Kerugian Bila Pemberi Hak Tanggungan Melepaskan Hak Atas Tanahnya Atau di Cabut Hak Atas Tanahnya

Dapat terjadi bahwa pelepasan hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan yang dilakukan oleh pemberi hak tangungan justru bertujuan untuk mendapatkan ganti kerugian yang dijadikan sebagai pelunasan kredit yang diterima oleh debitor dan dijamin oleh pemberi hak tanggungan.
Tidak beralasan bagi pemegang hak tanggungan untuk tidak memberikan persetujuan kecuali pelunasan kredit yang lebih dini dari tanggal pelunasan kredit itu akan dapat merugikan kreditor.
Demikian pula halnya hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan dicabut haknya untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kemudian hak tanggungan memperoleh ganti kerugian sebagai kompensasi atas haknya itu. Pemegang hak tanggungan dapat memperjanjikan memperoleh seluruh atau sebagian ganti kerugian yang diterima oleh pemberi hak tanggungan tersebut untuk pelunasan piutangnya.


III. Janji Untuk Pemegang Hak Tanggungan Dapat Menerima Langsung Ganti Kerugian Dari Perusahaan Asuransi

Janji yang dimaksudkan dalam huruf i dari pasal 11 ayat 2 UUHT adalah assurantie beding dalam hipotik.
Menurut pasal 297 KUHD apabila dalam suatu hipotik antara debitor dan kreditor telah diperjanjikan bahwa jika timbul suatu kerugian yang menimpa benda yang di asuransikan atau akan di asuransikan, bahwa uang asuransi (uang ganti kerugian) sampai jumlah piutangnya ditambah dengan bunga yang berutang menjadi pelunasa bagi piutang tersebut, maka penanggung (perusahaan asuransi) berkewajiban untuk membayarkan ganti kerugian kepada kreditor.


IV. Janji Untuk Mengosongkan Objek Hak Tanggungan Pada Waktu Eksekusi

Dalam praktik perbankan, sering dialami objek hipotik, baik berupa tanah maupun bangunan yang berada di atas tanah tersebut. Apabila objek hipotik itu akan dieksekusi sedangkan objek hipotik itu dalam keadaan dihuni, sudah barang tentu harganya akan sangat turun. Bahkan dapat terjadi tidak akan ada peminatnya yang akan membeli. Apabila akhirnya objek itu berhasil dijual lelang dalam keadaan tidak kosong seperti itu, akhirnya akan dialami oleh pembeli bahwa untuk mengosongkannya memerlukan biaya yang mahal dan waktu yang lama. Tidak mustahil pelaksanaan pengosongan akhirnya tidak kunjung terpecahkan. Sehubungan dengan pengalaman demikian, Pasal 11 ayat (2) hurf j UUHT memberikan kemungkinan kepada pemegang hak tanggungan untuk memperjanjikan sejak awal bahwa pemberi Hak Tanggungan akian mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan dilaksanakan


V. Janji Untuk Pemegang Hak Tanggungan Dapat Menyimpan Sertifikat tanahnya

Menurut ketentuan pasal 14 ayat 4 UUHT . sertifikat haka atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan hak tanggungan harus dikembalikan kepada pemegang hak tanah yang bersangkutan. Pelaksanaan ketentuan pasal ini tidak diinginkan oleh pihak Perbankan.
Bank selalu menginginkan agar bukan saja sertifikat Hak Tanggungan karena berdasarkan menurut pasal 14 ayat (1) UUHT bahwa sertipikat hak tanggungan merupakan tanda bukti adanya hak tanggungan bagi kepentingan pemegang hak tanggungan tetapi menghendaki agar sertipikat hak atas tanah juga disimpan oleh bank.
Maksud dari Bank yaitu untuk menjaga agar supaya pemegang hak atas tanah yang bersangkutan tidak kemudian melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan Bank sebagai kreditor (pemegang hak tanggungan) diluar pengetahuan dan persetujuan Bank. Oleh karena itui untuk mengakomodir keinginan Perbankan yang bermaksud untuk mengurangi hal –hal yang tidak diinginkan, sesuai pasal 14 ayat (2) huruf k jo.
Pasal 14 ayat (4) UUHT memberikan kemungkinan kepada Bank sebagai pemegang Hak Tanggungan untuk memperjanjikan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan bahwa sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan tidak dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, tetapi disimpan oleh pemegang Hak Tanggungan.
Karena akta pemberian hak tanggungan didaftar pada kantor pertanahan, berarti di muat janji-janji tersebut dalam akta pemberian hak tanggungan itu juga mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga.
Menurut penjelasan pasal 11 ayat 2 UUHT, janji-janji yang dicantumkan tersebut fakultatif dan tidak mempunyai pengaruh terhadap sahnya akta pemberian hak tanggungan. Pihak-pihak bebas menentukan untuk menyebutkan atau tidak menyebutkan janji-janji tersebut dalam akta pemberian hak tanggungan.
Pembtasan hanya ketentuan pasal 12 UUHT yang menentukan bahwa janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk memiliki obyek hak tanggungan apabila debitor cidera janji, batal demi hokum. Janji ini dalam hipotik dikenal sebagai “vervalding”. Menurut pasal 1178 KUHPer, janji demikian itu batal.
Larangan adanya janji demikian bertujuan untuk melindungi debitor, agar dalam kedudukannya yang lemah pada waktu mengajukan permohonan kreditr harus terpaksa menerima janji yang berat itu. Juga larangan yang demikian itu mencegah harga atau nilai dari benda yang dibebani hipotik itu sehingga dapat mengakibatkan seluruh utang debitor dapat dibayar dari hasil penjualan benda itu apabila nantinya harus dilelang.
Karena sifat yang tidak limitative dari janji-janji yang disebutkan dalam pasal 11 ayat 2 UUHT itu, atau dengan kata lain boleh dicantumkan janji-janji lain selain dari jenis janjiyang sudah disebutkan di dalam pasal 11 ayat 2 UUHT terdebut, dikuartikan dapat dicantumkan janji-janji yang menguntungkan kreditor dan sangat merugikan kreditor.
Hal itu dapat terjadi karena debitor (terutama yang tergolong pengusaha lemah kecil) dalam keadaan sangat membutuhkan utang atau kredit, sehingga karena itu debitor dalam keadaan tidak berdaya untuk menolak atau menyatakan keberatan terhadap permintaan kreditor atau janji-janji yang sangat merugikan kreditor.
Apabila pasal 11 ayat 2 UUHT itu telah tidak ditentukan sebagai ketentuan yang bersifat tidak limitative seperti itu, yaitu demi perlindungan bagi deditor yang lemah bargaining power dalam menghadapi kreditor (bank)